Pages

Rabu, Desember 08, 2010

arkeologi personal dan pengasuhan anak-anak



Bismillah….

Suatu ketika, hati saya pernah bertanya “kenapa luka selalu meninggalkan bekas, baik yg tersirat dan atau tersurat?”
Otak saya diam sejenak, mencari jawaban… (sok mikir gitu… ;P)

Hmm…
Ya kenapa luka selalu meninggalkan bekas…?
Ada banyak alasannya… :

Supaya kita ingat kita pernah terluka,
dan tak akan terluka dengan sebab yg sama…
Atau mengingatkan kita bahwa
kita tak ingin orang lain mengalami luka yg sama
karena kita pernah dan tau rasa sakitnya…


alasan yg kedua itu, mengingatkan saya tentang arkeologi personal. Sebuah teori tentang psikologi kepribadian dan psikologi sosial yg saya lupa pernah baca di buku yg mana.. (yg tau ntar kasi komen ya….heheheee)

jadi dalam arkeologi personal ini, kita menggali lagi pengalaman dan hikmah/efek yang pernah kita lalui dimasa lalu..khususnya yg meninggalkan bekas fisik ataupun psikis.
Fungsinya banyak, diantaranya : kita jadi lebih mudah untuk mengarahkan hidup, lebih mengenal lagi siapa diri kita, dan satu lagi..kita lebih mudah untuk ber empati.

Nah, fungsi yg terakhir itu yg ingin saya bicarakan sekarang, yup, soal empati…
Kemajuan zaman yg begitu pesat (edeuuuhhh) kadang membawa kita pada sikap2 individualis, bukan hanya pada orang lain, tapi yg lebih parah pada orang2 yg kita cintai, orangtua, sodara bahkan anak kita…

Salah seorang anak saya (baca : murid saya) pernah bilang : “ustadzah, apa sih tanda2 kalau orang tua itu sayang dan peduli sama kita?
Satu pertanyaan pendek tapi banyak maknanya buat saya..
Disitu ada proyeksi rasa bersalah, disitu ada keinginan untuk dicintai..

Buat anak-anak (atau mungkin buat kita juga) dicintai itu penting, tapi ada yg lebih penting dari itu.. : “merasa dicintai

Tak ada yg meragukan rasa cinta kita pada anak-anak kita, semua hal yg bisa kita berikan akan kita berikan untuk membuktikan cinta kita pada mereka, mulai dari harta, tenaga, bahkan nyawa pun kalau perlu akan kita pertaruhkan demi anak-anak..
Tapi diluar itu, adakah anak-anak kita MERASA kita cintai ?

Merasa dicintai (bukan hanya dicintai), penting untuk perkembangan psikis mereka ke tahap selanjutnya (remaja dan dewasa).
Kebanyakan orang-orang dewasa yang mengalami gangguan atau perilaku menyimpang memiliki permasalahan "cinta" pada masa anak-anak dan remaja-nya.
Cinta yang saya maksud disini adalah cinta dari orang tua atau figur pengganti orang tua.

Buat kita, banyak tanda kalo kita mencintai mereka :
Kita cinta anak kita, buktinya kita selalu mendahulukan kepentingan mereka diatas kepentingan kita
Kita cinta anak kita, buktinya kita bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan mereka
Kita cinta anak kita, buktinya kita bersedia untuk menjaga mereka dan sedikit tidur
Kita cinta anak kita, buktinya kita selalu cemas kalau mereka pulang terlambat..
Dan sejuta tanda lainnya…

Hingga kita mungkin bingung, bagaimana bisa anak2 kita merasa tidak dicintai..padahal kita sudah berusaha mencintai mereka sebaik mungkin ….

Buat anak-anak kita, tanda mudah saja :

Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah selalu mendahulukan kk/adek dibanding saya..
Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah selalu marah/ngomel kalo abis pulang kerja..
Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah tak pernah bertanya apa yg saya butuhkan..
Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah selalu membanding-bandingkan saya dengan kk/adek saya bahkan dengan anak tetangga atau anak teman mereka
Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah selalu membicarakan kebiasaan buruk saya dengan keluarga yg lain bahkan teman2 mereka
Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah mengomeli saya ketika saya jatuh dan merusakkan motor, padahal kaki saya sakit dan saya malu jatuh dari motor..
Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah memarahi saya ketika saya berkelahi tanpa bertanya kenapa saya berkelahi
Saya tidak dicintai, buktinya mamah/ayah mengomeli saya ketika nilai-nilai saya jatuh padahal saya juga sedih dan malu saat itu…

Mereka menambah penderitaan saya, padahal seharusnya mereka menghibur saya…
Mereka menambah rasa bersalah saya, padahal seharusnya mereka memaafkan saya
Mereka menambah rasa malu dan rasa tak berharga yg ada dalam diri saya, padahal seharusnya mereka memulihkan kepercayaan diri saya

See… ada yg tidak match disini..
Cara kita mencintai mereka ternyata tidak cocok dengan cara mereka ingin dicintai..

Disinilah arkeologi personal mengambil perannya..

Dalam kasus ini, arkeologi personal akan mengajak kita untuk mengenang kembali bagaimana kita diwaktu anak-anak dan remaja..
Apa saja pengalaman kita waktu itu?,
apa saja yg kita rasakan?,
apakah saat itu kita bahagia?,
apakah orang-orang disekitar kita bahagia?,
bagaimana cara orang tua mendidik kita?,
apakah kita pernah mengalami kekerasan fisik dan verbal?,
bagaimana cara orang tua mencintai kita?,
apakah kita merasa dicintai?

Tahukah kita bahwa…
hampir semua orang tua yg melakukan kekerasan fisik dan verbal pada anak-anak mereka mengalami hal yang sama waktu mereka kecil…..

hampir semua orang tua yg sulit mendengarkan anak-anak mereka mengalami hal yg sama waktu mereka kecil…

hampir semua orang tua yg meremehkan, terkesan kurang peduli pada anak-anak mereka mengalami hal yg sama waktu mereka kecil…

Nah, dengarkanlah kenyataan ini…
Kita akan memperlakukan orang lain seperti kita diperlakukan…
Dan imbasnya….kita akan memperlakukan anak-anak kita seperti kita diperlakukan saat kecil dulu dengan atau tanpa kita sadari…
Dan anak-anak kita pun akan melakukan hal yg sama pada cucu-cucu kita begitu seharusnya…
Apakah kita sudah mewariskan pola pengasuhan yg baik pada keturunan kita ?

Karena itu cobalah lakukan arkeologi personal pada diri kita dan bandingkan bagaimana kita memperlakukan anak-anak kita saat ini..

Jika arkeologi personal kita berhasil maka kita akan seperti Sam di film I’m Sam atau menjadi Chris Gardner di film The Pursuit of Happyness meskipun ditengah keterbatasan kita sebagai manusia…

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Atau seperti Forest Gump difilmnya..bagaimana cara ibunya membesarkan hati anaknya yg pada akhirnya mempengaruhi tumbuh kembang anak.. :)
Jadi ingat pas prajab, yg salah satu WI memaparkan ungkapan yg terus membekas hingga sekarang:

Jika anak di besarkan dengan celaan, ia belajar memaki

Jika anak di besarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi

Jika anak di besarkan dengan ketakutan, ia belajar gelisah

Jika anak di besarkan dengan rasa iba, ia belajar menyesali diri

Jika anak di besarkan dengan olok-olok, ia belajar rendah diri

Jika anak di besarkan dengan dipermalukan, ia belajar merasa bersalah

Jika anak di besarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri

Jika anak di besarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri



Jika anak di besarkan dengan pujian, ia belajar menghargai

Jika anak di besarkan dengan penerimaan, ia belajar mencinta

Jika anak di besarkan dengan dukungan, ia belajar menenangi diri

Jika anak di besarkan dengan pengakuan, ia belajar mengenali tujuan

Jika anak di besarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawaan

Jika anak di besarkan dengan kejujuran dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan

Jika anak di besarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan

Jika anak di besarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan

Jika anak di besarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran

Anyway..paham bagaimana cara bersikap dengan anak pun tidaklah cukup, kita pun harus dpt mengaplikasikannya..semoga :)

*terus nulis ya nul*thumb* :)