Pages

Rabu, Maret 04, 2009

Kalau Diberi Uang Itu Rejeki

bismillah..


Waktu sudah malam ketika saya dan keluarga saya diskusi kecil-kecilan. Kali ini topik-nya masih sama dengan hari-hari sebelumnya, kami bicara soal pemilu dan seputar “pertarungan” partai dan segala aksesoris-nya, tapi kali ini ada yang berbeda, diskusi kami lebih fokus ke soal bagaimana partai-partai tersebut mendulang suara.

Banyak cara yang dilakukan sebuah (atau dua, tiga, empat, dst ) partai untuk mendulang suara. Strateginya macam-macam, mulai dari pasang atribut di tempat-tempat strategis, bagi-bagi stiker, selebaran, kaos dan macam-macam aksesoris partai lainnya, bahkan ada juga yang bagi-bagi sembako, memperbaiiki jalan, atau T2KB (tiba-tiba kerja bakti), sampai bagi-bagi uang.

Diskusi kami terus berlangsung, sampai terlihat iklan salah satu partai baru disebuah stasiun televisi swasta yang terus terang agak membuat saya khawatir . Dua kalimat yang paling menonjol dari iklan tersebut adalah “diberi uang itu rejeki “ dan “diberi janji harus hati-hati”.
Untuk kalimat kedua, jelas saya tidak khawatir, karena pengalaman membuktikan belum tentu janji-janji yang disampaikan sebuah partai dapat ditepati. Tetapi yang membuat saya khawatir adalah kalimat yang pertama yaitu “diberi uang itu rejeki”.

Menurut saya ini bukan pembelajaran politik yang baik untuk masyarakat. Kalimat ini seperti membuat lazim politik uang ketika Pemilu. Walaupun memang ada beberapa presepsi yang dapat ditangkap jika kita melihat iklan tersebut secara penuh.

Presepsi pertama adalah ”ambil uangnya dan pilih partainya” yang artinya sama saja suara kita di pemilu dibeli ketika kita mengambil uang itu. Bahkan ada yang menjadikan politik uang ini sebagai sumber penghasilan musiman. Suara bisa dibeli seperti dilelang, partai yang memberikan uang yang paling banyak yang bakal dipilih.

Presepsi yang kedua adalah ” ambil uangnya tapi belum tentu pilih partainya”. Presepsi yang kedua ini diambil oleh orang-orang yang ragu-ragu, antara uang dengan sikap politik yang harus diambil. Antara menginginkan uang tersebut karena itu adalah rejeki atau memang membutuhkannya dan harus ”membalas budi” partai tersebut padahal punya pilihan partai yang lain.

Presepsi yang ketiga adalah ”ambil uangnya tapi jangan pilih partainya”. Presepsi ini seperti senjata makan tuan bagi sang partai, betapa tidak, sudah terlanjur keluar banyak ”modal” tetapi tidak ada yang dihasilkan. Dan ini jelas pukulan telak bagi partai tersebut. Akan tetapi, tahukah anda bahwa ada beberapa partai yang mencatat calon konstituennya yang menerima uang dari partai tersebut, oleh karena itu dari data tersebut dapat dihitung kesesuaian antara calon konstituen partai (yang telah menyatakan kesediaan dengan menerima uang dari partai tersebut) dengan hasil suara yang diperoleh oleh partai tersebut ketika perhitungan suara, karena itu pula partai tersebut pasti mengetahui kalau ada calon konstituennya yang ”berkhianat” meskipun tidak dapat diketahui siapa orangnya karena pemilihan tentunya tetap dilakukan secara rahasia.

Presepsi yang terakhir adalah ” jangan ambil uangnya, jangan pilih partainya”. Presepsi ini jauh lebih tegas dan memberi pembelajaran politik yang baik daripada tiga presepsi diatas, baik itu untuk masyarakat maupun untuk partai politik.
Sebagai masyarakat yang punya hak pilih, ketika kita menerima uang tersebut secara tidak langsung kita telah ”mendidik” partai tersebut untuk melakukan hal-hal dengan pola yang sama juga ketika terpilih nanti. Ibaratnya belum terpilih saja sudah tidak jujur, bagaimana ketika sudah terpilih? Masih ingatkan mereka dengan konstituennya? Jangan-jangan seperti di pasar, ketika jual-beli telah berlangsung, habis perkara. Setelah itu tidak ada kewajiban atau hak yang dapat dituntut, peraturan yang lazimnya ada di pasar : ”barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar/dikembalikan”. Kita sebagai konstituen yang telah memilih tidak dapat menuntut apapun terhadap partai tersebut karena kita telah ”menjual” suara kita, bahkan jangan-jangan bukan ”suara” kita saja yang kita jual tapi juga ”nasib” kita. Karena dengan memilih partai, caleg, atau capres maka secara tidak langsung kita telah memilih mereka untuk mengurus nasib kita kedepan dan hasil baik yang kita harapkan tergantung kepada siapa hak pilih kita ”contreng”-kan.

Memang, kalau mau jujur, masih banyak politik uang yang terjadi pada Pemilu sekarang meskipun hal ini sudah jelas-jelas dilarang. Namun tak bisa dipungkiri, di lapangan hal itu masih sering terjadi, baik secara sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Oleh karena itu, perlu ada pembelajaran politik yang baik dan sesuai mengenai hal ini.
Sebuah iklan politik entah itu iklan partai, instansi terkait atau golongan hendaknya memberi pembelajaran politik yang baik kepada masyarakat bukannya menimbulkan berbagai macam presepsi yang bisa saja memberi dampak negatif bagi yang diiklankan maupun masyarakat luas yang melihatnya. Statement ” diberi uang itu rejeki” bagi saya sama saja dengan melazimkan politik uang yang terjadi ketika Pemilu jika tidak diimbangi dengan penjelasan yang jelas, karena jika dikatakan ”diberi uang itu rejeki” maka jarang manusia yang menolaknya, namanya juga rejeki. Tetapi tetap saja selalu ada konsekuensi yang akan kita terima ketika memutuskan untuk menerima atau menolak rejeki tersebut. Disinilah point pentingnya.

Senin, Maret 02, 2009

kenapa ada mas golput

Bismillah..


Golput…alias golongan putih
Selalu dibicarain kalo pas pilkada atau pemilu, kayak sekarang-sekarang ini nih..
Bahkan MUI sampe ngebahas khusus dan ngeluari fatwa haram untuk golput ini…
Jadi penting banget kan si golput ini..

Bahkan diprediksikan nih..golput pada pemilu ini akan bertambah daripada pemilu-pemilu sebelumnya, indikasinya bisa diliat, hampir kebanyakan di pilkada-pilkada yang menang itu sebenarnya golput, karena jumlah golputnya lebih banyak daripada jumlah pemenang pilkada..(kalo gitu, harusnya si golput dunk ya yg mimpin...he..he..he..)

Kalo gw boleh me-klasifikasikan golput, menurut gw ada dua macam,
Pertama golput yang disengaja atau kita sebut aja golput murni alias gomur, dan yang kedua adalah golput yang ngga disengaja atau kita sebut aja golput by accident alias gobay (mekso ya...biarin lah....ya..)

Nah, golput murni alias gomur menurut pengamatan gw bisa disebabkan karena beberapa hal, diantaranya :

  1. Emang ngerasa ngga ada partai, caleg, capress, dan semacamnya yg bisa dipilih. Mungkin karena semua calon ngga sesuai kriteria yg udah calon pemilih ini tetapkan.
  2. Ngga ngerasa pemilu ataupun pilkada itu penting, karena milih atau enggak bagi dia ngga ada ngaruhnya buat hidup dia.
  3. Punya masalah pribadi, misalnya dalam perjalanan/perantauan, bekerja yg ngga bisa ditinggal, punya masalah pribadi sama panitia pemilu, TPS-nya jauh..dll
  4. Punya hak pilih tapi ngga bisa milih, misalnya sakit , ngejaga orang sakit, maap –cacat- dan ngga ada yg bantuin, ataupun udah meninggal dunia..

sedangkan golput by accident alias gobay (kembali menurut pengamatan gw) bisa disebabkan karena beberapa hal juga diantaranya :

a. gak tercatat sebagai pemilih (kayak gw nih, harusnya pemilu perdana gw tu 2004, tapi karena gak kecatat terpaksa sabar sampe 2009)

b. gak tau kalo tanggal 9april 2009 nanti itu pemilu, padahal punya hak pilih dan kecatet sebagai pemilih (khususnya buat tempat2 yg akses informasinya kurang, dan buat orang2 yg ngga ngakses informasi padahal punya fasilitas juga buat orang2 yg gak gaul atau bahkan yg sibuuuukkk banget nget...)

c. lupa kalo tanggal 9 april 2009 itu hari pen-contreng-an...(bisa karena ada rapat urhen atau bahkan bisa juga karena ketiduran (pernah nih, ada temen gw yg ngga ikut pemilu gara2 ketiduran, jadi jangan remehkan masalah ini...simple tapi......)

dari banyak sebab yg gw jabarin diatas , menurut gw sebab yang paling sering bikin mas golput selalu hadir pas pemilu atau pilkada ada tiga yaitu :

  1. karena emang ngga ada yg bisa dipilih (golput idealis)
  2. karena ngerasa pemilu atau pilkada itu ngga ngaruh buat hidupnya (golput cuek)
  3. karena ngga kecatet sebagai pemilih padahal punya hak pilih (golput korban teknis)

untuk sebab pertama dan kedua emang butuh kerja keras dari pemerintah, partai politik dan pihak2 berwenang untuk memberi pendidikan dan penjelasan politik kepada masyarakat yang golput karena dua hal itu sehingga mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa MASIH ADA calon atau partai yang bisa dipilih dan sesuai kriteria atau setidaknya sesuai satu atau dua item dari kriteria yang kita tetapkan dan bahwa pemilu atau pilkada itu sebenarnya baik secara langsung atau enggak bakal ngaruh ke hidup mereka cepat atau lambat.

Untuk sebab kedua, ini perlu kesadaran dari KPU dan pihak yg berwenang dan dari masyarakat sendiri. Apakah masih ada warga yg punya hak pilih tapi belum kecatet, khususnya bagi pemilih-pemilih pemula yg tahun ini umurnya 17 tahun, atau warga-warga baru. Soale kan meskipun punya kartu pemilih tapi kalo ngga kecatet di catatan pemilih TPS tetap ngga bisa milih.. kayak gw dulu.

Oleh karena itu perlu diliat lagi apakah golput yang selama ini terjadi karena emang murni golput yang idealis dan golput cuek atau emang karena masalah-masalah teknis yang sebenarnya bisa dihindari.

Dan jika ternyata angka golput yang banyak itu bukan sumbangan dr golput2 idealis dan golput cuek tapi justru dari golput2 korban teknis maka Fatwa MUI yang mengharamkan golput jadi sangat ngga berarti.