Pages

Senin, Mei 23, 2011

Hukuman, Masihkah Efektif ??


bismillah...

Gara-gara komen dari salah seorang sodara cerdas saya di status saya kemaren sore, akhirnya membuat saya membuka kembali buku psikologi waktu kuliah dulu.

Awalnya baca-baca soal psikoanalis, jadi keterusan sampe behaviourisme dan "bertemulah" saya dengan Skinner..

ada yang menarik dari teori Skinner kali ini, yaitu pandangannya soal efektivitas hukuman.

Pendapat Skinner ini, mengingatkan saya pada sebuah film yang bercerita soal penjara anak & remaja di amerika Serikat : Gridiron Gang.

Film yang diadaptasi dari kisah nyata ini bercerita tentang keprihatinan seorang sipir penjara anak dan remaja. Beliau sangat prihatin karena dari semua anak dan remaja yg pernah dititipkan di penjara tersebut hanya sebagian kecil yang bisa kembali hidup normal sedangkan sebagian besarnya akan kembali pada kehidupan sebelum penjara ( bergabung di Geng, melakukan aksi-aksi kriminal, Narkoba ) bahkan ada juga yang mati dijalanan.

Sebab mereka terlibat dalam kegiatan kriminal adalah terlalu kuatnya pengaruh Geng dalam kehidupan mereka. Ashobiah (keterikatan) antar Geng sangat kuat dan mengikat mereka hingga didalam penjara, oleh karena itulah kebanyakan anak-anak yg keluar penjara selalu kembali ke pangkuan Geng-nya itu.

Sipir penjara tersebut akhirnya mencari cara untuk menyelamatkan anak dan remaja tersebut dan mengurangi presentasi yang "gagal melanjutkan hidup" setelah bebas dari penjara.

Beliau yang mantan pemain American Footbal, akhirnya berinisiatif untuk menyelenggarakan kegiatan Futbol USA itu di penjara, dan untuk memotivasi mereka , Beliau mendatangkan lawan-lawan dari tim futbol sekolah yg ada di kota itu.

Karena hidup selalu ingin mengajarkan kita sesuatu, maka perjuangan beliau pada awalnya pun tak mudah, mulai dari penolakan dari binaannya (anak&remaja yg dipenjara), sistem penjara sampe penolakan dari sekolah-sekolah yg diundang bertanding. Dan akhirnya lewat perjuangan panjang beliau berhasil, dan terbukti..program ini bisa mengurangi keterikatan binaannya dengan Kriminal dan Geng serta memulihkan perasaan percaya diri binaannya menghadapi dunia. Bahkan ada diantara binaannya yg sempat bermain futbol pro dikemudian hari.

Sipir penjara tersebut melihat hukuman-hukuman yang selama ini diterapkan di penjara tersebut tidak membawa penyadaran untuk binaannya, bahkan sekadar efek jera pun tidak. Secara tak langsung, bahkan malah menstimulus mereka untuk melakukan kejahatan lagi. Maka itu beliau membuat program penguatan perlaku positif sekaligus memulihkan kepercayaan diri binaannya untuk menghadapi masyarakat dan masa depan.

Hal ini juga sama dengan yang diutarakan Skinner dalam pandangannya soal hukuman, yaitu :

1. Secara umum hukuman menjadi kurang efektif karena terlalu lama dan atau terlalu sedikit memberi pelajaran.

Maksudnya hukuman seringnya tidak setimpal dengan perilaku negatif yg dilakukan. Bisa terlalu tinggi atau terlalu rendah.

2. Hukuman sering menyebabkan orang menghindari hukuman daripada menghentikan tingkah laku yang tidak diinginkan.

Ini sering banget terjadi, anak remaja (terutama) menghindari melakukan pelanggaran bukan karena kesadarannya untuk meninggalkan perilaku buruk. Karena itulah pelanggaran bisa saja terjadi dilain kesempatan jika faktor yg membuat ia menghindari hukuman tidak ada.

Misalnya : siswa takut merokok disekolah, tapi ia merokok di luar sekolah, karena tidak ada guru

3. Hukuman dapat menyebabkan seseorang mengaitkan hukuman dengan orang yang menghukum, bukan dengan tingkah lakunya.

Hal ini akan merugikan anak tersebut dimasa depan. Ia akan cenderung untuk selalu menganggap orang yg menghukumnya sebagai "musuh", dan pada perkembangannya akan membenci apapun yg dilakukan dan dikatakan orang tersebut meskipun itu benar.

4. Hukuman mungkin melatih seseorang tentang apa yang tidak boleh dilakukan, tetapi tidak melatih apa yang harus dilakukan.

Hal ini juga penting, karena seringkali hukuman tidak selalu memberi solusi pada masalah sebenarnya, yang justru akan membuat seseorang untuk kembali melakukan perilaku buruk karena ia menganggap hanya perilaku itu yg menjadi solusi untuk dirinya.

Misalnya : anak dihukum karena pacaran, tapi yang menghukum tidak memberi alternatif cara, bagaimana cara yang benar untuk menyikapi rasa cinta yg ada.


Skinner menyadari bahwa banyak anak yang disebut "bermasalah" atau "nakal" sebenarnya dalah anak yg aktif, normal yang seringkali adalah hasil "salah didik" orang tua atau lingkungannya.

Salah didik yang dimaksud adalah, orang tua atau lingkungannya seringkali tanpa sadar justru memberi penguatan positif kepada anak untuk melakukan perilaku buruk tersebut.

Misalnya : anak selalu ditegur ketika dia berbuat salah, tetapi orang tua diam saja ketika dia berbuat hal benar.

dalam kasus ini, orang tua secara tidak sadar sudah memberikan penguatan positif kepada anak tersebut untuk berbuat hal buruk. Karena jika dilihat dari kebutuhan anak yg selalu ingin diperhatikan.

Karena itu Skinner juga menekankan tentang perencanaan utuh sebelum melakukan treatmen, termasuk soal perilaku yg diinginkan, macam treatmen (perlakuan) dan disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi anak saat itu.

Nah, dari yang saya utarakan diatas, apakah hukuman masih terlihat efektif untuk mengatasi perilaku buruk anak & remaja ?


Soe Hok Gie yang saya kenal...


Bismillah..

di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya. Kadang-kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah. Apatiskah atau anarkis. Moga-moga tidak menjadi kedua-duanya

(Soe Hok Gie, Selasa, 20 Agustus 1968)

Pertama kali mendengar nama “Gie” disebut, pas Riri Riza, Mira Lesmana, Nicholas Saputra, Sita RSD dan Wulan Guritno jadi bintang tamu di acaranya Tika Panggabean bertahun-tahun yg lalu . Waktu itu saya cuman bilang “Emang sapa ni orang, kok sampe dibikinin pelem”. Pas diterangin di acara itu, saya langsung menjadikan tu pelem sebagai target pelem mostwanted saya (guayyamu nul..).

Tapi sayang seribu sayang, pas tu pelem diputer dibioskop kesayangan anda, saya ngga sempet liat (fiuhh =.=”). Baru setelah sekitar 2 tahun kemudian saya baru bisa berjodoh dengan itu pilem. Waktu itu, cover tu pelem nangkring dengan tenang di tempat penyewaan vdc paporit saya (Classic OVCDR, pa kabar bes? ^^). Begitu liat, langsung pinjem deh.

Setelah liat pelemnya, saya baru mengerti kenapa Mira Lesmana sebegitu nge-fansnya sama ni orang, sampe-sampe beliau merasa tak apa-apa ketika pilem ini tak menghasilkan untung sama sekali, malah rugi. Beliau bikin ini pelem bukan untuk dikomersilkan, tapi untuk menginspirasi orang-orang, terutama pemuda Indonesia saya rasa. Dan Mira berhasil, banyak pemuda-pemuda Indonesia mulai kenal Hok Gie dan terinspirasi dengannya, salah satunya adalah saya (kepedean buanget), tapi saya memang merasa terinspirasi sekaligus malu dengan Hok Gie.

Btw, Kalo kepala saya sebut nama Hok Gie, maka saya akan teringat 6 pemuda yang lain yg juga punya ruangan yg sama di kepala saya : Ahmad Wahib, Ernesto Guevara, Sayyid Qutb, Malcom X, Bagus Takwin dan Eko Prasetyo. Tapi saya ngga akan bicara soal 6 pemuda itu, ini hari saya mo ngomong soal Hok Gie aja ^^.

Setelah nonton pelemnya, saya semakin tertarik untuk mencari tau soal Gie, terutama mencari catatan hariannya yg dibukukan. Tapi perjalanan saya mencari buku hariannya ternyata gak mudah. Mulai nyari yg gratisan (dasar mahasiswa) di internet gak nemu, 6 toko buku dimalang juga udah saya ubek-ubek tapi tetap ga nemu sampe nyari diloakkan pun ga dapat. Akhirnya saya pasrah aja, sama seperti pelemnya, kalau berjodoh pasti akan bertemu.

Baru pada akhir tahun 2007 saya bertemu juga dengan itu buku. Waktu itu saya pas lagi maen kekosan adek saya, dan saya menemukan catatan harian Hok Gie nongkrong manis dikamarnya. Langsung hari itu juga saya pinjem sebentar untuk dipotokopi dan dibalikin besoknya. Ternyata saya memang berjodoh dengan catatan hariannya :D

Trus di Januari 2010, setelah 4 bulan menanti, saya kembali bertemu dengan “bukunya” yg lain : “Soe Hok Gie..Sekali Lagi”. Isinya kumpulan testimony kawan-kawan dekatkanya dan beberapa kumpulan artikel yg ditulisnya. Sedang di akhir 2010 saya bertemu dengan skripsi sarjana muda-nya yang dibukukan : Di bawah Lentera Merah.

Soe Hok Gie, awalnya sama seperti kebanyakan kita : pemuda Indonesia yang biasa saja. Namun jadi luar biasa, karena isi kepala-nya dan apa yg dia lakukan untuk bangsa ini (wedeuuhh..smoga gak lebai ya nul..) .

Awalnya saya pikir Hok Gie seperti orang cerdas pendiam pada umumnya : cool, calm, confident gitu (kek tokoh rangga di aadc atau yg digambarkan versi filmnya). Ternyata abis baca catatan hariannya (apalagi baca testimony temen2nya di “ Soe Hok Gie Sekali Lagi” , jadi mengubah 170,5 derajat pribadi Hok Gie di mata saya.

Sejak kecil ia suka baca buku, dan ketika SMP ia mulai menulis catatan harian. Ia suka mengamati lingkungannya dan berpikir cenderung lebih jauh dari orang seusianya alias visioner. Hok Gie juga suka memelihara hewan, dekat dengan alam, ia suka naik gunung, diskusi, menonton film dan dengar musik, terutama folks song. Ia juga tipe orang jalanan yang rumahan. Selarut apapun dia pergi, selalu pulang kerumah, tidak pernah menginap ditempat lain kecuali lagi naik gunung dan keluar kota :D.

Ia juga suka menulis dan puluhan tulisannya terbit di media (oia, papa dan abangnya juga seorang penulis). Dalam 3 tahun (1966-1969) tercatat ada 35 artikelnya yg diterbitkan diberbagai media (sinar harapan, kompas, dll) dan dibukukan bertahun-tahun kemudian.

Meskipun dirumah ia sangat jarang menunjukkan emosi (karena pola kehidupan dalam keluarganya memang seperti itu), namun ketika bersama teman-temannya ia tidak seperti itu. Hok Gie orang yang humoris, terbuka, jujur apa adanya dan hangat. Siapapun yang dekat dengannya akan merasa diperhatikan, didengar, merasa spesial dan merasa dia sangat tulus (yang dari hati akan sampai ke hati juga kan ? ^^). Saya terharu ketika tau pada suatu kali Hok Gie mengirim jeplakan jari tangannya untuk sahabatnya di riau, supaya sahabatnya itu bisa terus merasa berjabat tangan langsung dengannya. J Ia sangat perhatian dan bersedia membantu apa saja yang ia bisa lakukan untuk temannya, mulai dari menjenguk yang sakit, belajar, sampai melayani curhatan teman-temannya dengan sabar.

Pergaulan Hok Gie sangat luas, mulai dari supir, pedagang, tukang becak, sampai birokrat negara dan militer. Pengetahuannya dan pergaulannya yg luas ini membuat ia istimewa. Ia bisa menyesuaikan diri pada lingkungan apapun tanpa membuatnya jadi bunglon. Namun disisi lain ia sangat keras kepala, tegas, terkadang arogan, tidak kenal kompromi untuk hal-hal yang diyakininya. Ia melawan ketidak adilan bagi siapapun tanpa terkecuali.

Ia bukan orang yang duduk merenung dibalik meja hanya berpikir, mengkritik tanpa solusi. Ia bukan hanya seorang pemikir tapi sekaligus aktivis. Ia berbuat sesuatu untuk idealisme-nya : ia menulis pemikirannya, kritikannya, pembelaannya atas ketidakadilan, ataupun artikel inspiratif di media lokal dan nasional, ia tidak hanya diam prihatin ketika melihat seorang miskin papa terpaksa makan kulit mangga dari tong sampah karena lapar, ia memberikan uang terakhirnya untuk orang itu (umurnya belum genap 17 tahun waktu itu tapi kesadaran sosialnya cukup tinggi), ia membantu menertibkan calo-calo taksi dibandara, ia pula jadi salah satu orang yang menghidupkan kegiatan-kegiatan mahasiswa di FS UI, salah satu tokoh dibalik demonstrasi angkatan 66, dll.

Hok Gie memiliki satu hal yang saya sukai dari seorang manusia : Isi Kepalanya. Hok Gie itu cerdas, dan dia tau cara memamfaatkan kecerdasannya serta menularkannya pada orang lain, terutama pada orang-orang yg dekat dengannya. Banyak kawan-kawan Hok Gie yang merasa beruntung pernah mengenalnya dengan dekat. Mereka merasa diri mereka berkembang, lebih dinamis ketika berkawan dengannya. Hok Gie menularkan beberapa positif habbits, bukan hanya habbits-nya tapi juga “mengapa”-nya yang tentu membuat kebiasaan positif yg ditularkannya menjadi ajeg nemplok dipribadi2 temannya tanpa mengurangi karakter dasar kawan-kawannya itu.

Hok Gie sepertinya tau benar cara membuat “aku” dan “kamu” menjadi “kita” dan “kami” tanpa merasa kehilangan ke-aku-anku dan ke-kamu-anmu.

Sampai akhir hayatnya dia masih setia dengan jalan kaki, naik sepeda dan becak, soale ia memang tak bisa naik motor atau nyupir mobil. :D. Tapi hal ini justru membawa input positif lain dalam hidupnya. Ia menjadi pengamat sekaligus pemikir & aktivis yg merakyat.

Soal cinta, tentu seperti kebanyakan pemuda lain, Hok Gie juga merasakan jatuh cinta pada beberapa teman gadisnya bahkan siap berkomitmen pada seorang gadis. Namun keluarga gadis tersebut tak bisa menerima Hok Gie lebih dari seorang teman buat anaknya, terlalu beresiko untuk menjadi istri seorang Hok Gie, kira-kira begitu. Dalam hal ini, wajar jika Hok Gie terluka dan juga ia tuangkan dalam buku hariannya. Dan akhirnya ia menyadari satu hal (mungkin bahkan sudah lama ia tau) bahwa orang-orang seperti dia memang ditakdirkan (atau lebih baik) untuk “sendirian” dan ia siap untuk itu.

Ketika SMP-SMA ia mulai meragukan keberadaan agama dan Tuhan, namun hal ini menjadi mantap ketika ia menjadi mahasiswa. Ia tidak percaya agama dan Tuhan. Mungkin ia memang atheis, tapi bagi saya ia bukan atheis murni karena pada beberapa bagian dibuku hariannya, ia sering menyebut atau merindukan Tuhan, meskipun tidak juga mau mengakui keberadaanNya.

Awalnya saya kecewa dan merasa “sayang sekali” orang secerdas dia, mengapa bisa tak beragama atau setidaknya menjadi agnostik. Pikiran sekilas jebret saya waktu itu, apakah Hok Gie begitu karena ia tidak memisahkan antara agama dan pemeluk agama. Yang buat saya sangat berbeda. Sebuah agama buat saya tak bisa disamakan dengan pemeluknya. Jika pemeluknya –maap- bejat bukan berarti agama-nya juga seperti itu. Tapi otak saya berpikir ulang, Siapa saya ? kenapa saya merasa berhak untuk menghakimi Hok Gie dalam pilihan hidupnya soal agama dan keyakinan terhadap Tuhan? Oke, itulah pilihannya, dan biarkan ia bertanggungjawab dengan pilihannya itu.

Tapi disisi lain “kesadaran” Hok Gie tentang Tuhan dan agama juga turut menyadarkan saya, bahwa siapapun kita, beragama apapun kita atau bahkan tidak percaya pada agama manapun dimuka bumi, pasti membutuhkan Dzat yang super kuat, super kuasa, Dzat yang sebagai tempat kita berlindung atau setidaknya kita rindukan kehadiranNya. Sesuatu yang Danah Zohar & Ian Marshall sebut sebagai Kecerdasan Spritual (SQ/SI).

Hok Gie meninggal ketika usianya belum genap 27 tahun di Gunung Semeru pada sebuah ekspedisi semeru bersama kawan-kawannya. Ia mati muda dan digunung, persis seperti yang Ia inginkan. Dan pada saat akhir-akhir kehidupannya beberapa kali sering ia tuliskan di buku hariannya soal ini. Jika ada yang mengatakan Hok Gie meninggal karena patah hati, saya sungguh tak sependapat dengan itu.

Sebelum berangkat ke Semeru ia sempat bicara dengan abangnya (Hok Djien/Arif Budiman) tentang semua hal yang lakukan termasuk persoalan cintanya dengan seorang gadis. Saat itu ia menunjukkan sebuah surat dari temannya di Amerika. Isinya ia tunjukkan pada abangnya : “ Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu……Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka : sendirian, kesepian, penderitaan”. Dan dari wajahnya saat itu, Abangnya melihat seakan Hok Gie mau berkata : Ya, saya siap. Dan dalam suasana yang seperti itulah Hok Gie berangkat ke Semeru dan akhirnya meninggal keracunan belerang kawah mahameru ditemani sahabat dekatnya Herman Lantang didetik-detik terakhir Izrail menjemputnya.

Sekarang, sudah lebih dari 40 tahun sejak ia pergi, dan saya pun tersenyum ketika membaca kembali buku hariannya yang ia tulis pada hari Sabtu, tanggal 13 Agustus 1960. Hok Gie menulis pembelaan gurunya itu ketika teman-temannya mengejeknya sebagai ahli sejarah : “ Sekarang kau tertawakan dia, mungkin 20 tahun (lagi), kau akan pelajari bukunya “. Dan ternyata benar, beberapa tahun setelah ia meninggal skripsinya diterbitkan menjadi salah satu sumber sejarah tentang Sarikat Islam, artikel-artikelnya pun dianalisis dan digabung jadi sebuah buku bersama testimony teman-temannya dan buku hariannya pun bisa kita jadikan salah satu sumber sejarah angkatan 66 dan pergolakan politik sosial kala itu.

Begitulah saya mengenal pemuda sederhana yang bagi saya luar biasa : Soe Hok Gie. Saya memang hanya mengenalnya dari tulisan-tulisannya di buku hariannya, artikel, skripsi dan testimony keluarga dan teman-temannya. Tapi hal itu ternyata lebih dari cukup untuk membuka pikiran saya tentang banyak hal : arti hidup dan kehidupan, sosial, politik bahkan kesadaran beragama (memang kesannya jadi aneh belajar “berkesadaran agama” dengan seseorang yg bahkan tak percaya Tuhan, tapi itulah kenyataannya ) . Dan tentu saja yang saya tulis ini tidak menggambarkan sepenuhnya sosok seorang Hok Gie. Tapi yang jelas buat saya inilah Hok Gie yang saya tau, Hok Gie yang saya kenal :

“……Saya adalah seorang manusia dan bukan alat siapa pun. Kebenaran tidaklah datang dalam bentuk instruksi dari siapapun juga, tetapi harus dihayati secara “kreatif”. A Man is as He Thinks…… “ (Soe Hok Gie, Siapakah Saya? -dokumentasi Arif Budiman (Soe Hok Djien)- )

“Terimakasih Hok Gie, menyenangkan bisa mengenalmu meski tak sepenuh kenal ^^”

"Terimakasih buat mba Mira Lesmana yang sudah memperkenalkan saya dengan Hok Gie lewat GIE ^^"

Didepan nagamochi, 10 April 2010

Jam 10 kurang 18 menit waktu jam kamarku

Bahan Bacaan :

- Catatan Seorang Demonstran/Soe Hok Gie/ LP3ES/ 1983

- Soe Hok Gie…Sekali Lagi (Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya)/Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R (Ed.)/KPG bekerjasama dengan UI, ILUNI UI & Kompas/2009

mera nam Husnul Khatimah Umar


bismillah....

Dulu, kira-kira 40 hari setelah hari raya haji tahun 1984, saya diberi nama : Husnul Khatimah. Nama itu usulan salah satu tante saya, diambil dari nama salah satu teman sekelas beliau yg katanya cerdas (moga ketularan juga..amiiin.....)

Tapi..te ata pe i pi, tapi...

Nama itu pasaran sekali, setiap saya sekolah dari SD sampe kuliah pasti saya punya teman dengan nama yang sama. Jangankan pas sekolah, sampai sekarang pun saya sering menemui samaan nama ini. Bahkan sempat pas masih les di primagama malang, nama "Husnul Khatimah" bederet-deret lebih dari 5 dengan berbagai variasinya, misalnya kayak :

- Husnul Khatimah

- Khusnul Khotimah

- Khusnul hotimah

- Khusnul Khatimah

- Husnul Hatimah

Nama yang sama ini cukup merepotkan saya, soalnya bisa ketuker-tuker, apalagi kalo ejaannya sama. Akhirnya ketika kuliah saya berinisiatif untuk membuat beda nama saya. Dibelakang nama saya, saya tambahkan nama abah saya, sehingga menjadi "Husnul Khatimah Marzuki". Namun saya singkat menjadi "Husnul K.Marzuki".

Nama panggilan pun, yang tadinya "Husnul", saya ganti dengan "Unul" (nama panggilan saya waktu kecil).

Tapi rupanya, nama-nama itu pun menambah "kerepotan" baru buat saya.

Beberapa orang ada yg khilaf memanggil "Unul" dengan "Inul" (hadehhh...>.<)

Tapi gpp, masih bisa diluruskan.

Dan yang paling sering terjadi adalah, banyak teman-teman baru saya yang pada awalnya mengira saya seorang laki-laki (yaap....saya dikira laki-laki) , paling minim ada yang ngerasa bingung apakah saya laki-laki atau perempuan. Pengalaman ini makin sering saya temui ketika saya kena "kecelakaan sejarah", menjadi Kadept Humas UKMK JF UMM dan Koord. Quantum (BP Puskomnas FSLDK wilayah Jatim) soalnya selain mungkin nama saya terdengar agak "jantan" juga karena amanah-amanah tersebut biasanya diisi oleh para ikhwan (laki-laki).

Saking seringnya dikira ikhwan/laki-laki, saya jadi terbiasa dan cuek aja.

Pernah, ketika itu LDK saya mau study banding ke salah satu LDK kampus di Jawa Barat. Saya sudah berkomunikasi dengan Ketua LDK tersebut via telepon, yg artinya Ketua LDK tersebut mengetahui kalau saya seorang akhwat (perempuan). Kemudian beliau menghubungkan saya dengan Kadept. Humasnya dan berkomunikasilah kami via sms dan email beberapa kali untuk konfirmasi semua keperluan studi banding tersebut. Saya pikir beliau (Kadept Humas LDK tersebut) tau kalau saya seorang akhwat, ternyata di luar dugaan saya beliau tidak tahu menahu tentang itu dan baru tahu setelah saya dan rombongan tiba di LDK itu untuk study banding.

Kalimat pertama yang beliau ucapkan ketika mengetahui saya akhwat adalah : "Astaghfirullahal'adziiiim... saya kira antum itu ikhwan....!!!" sambil mengusap wajah beliau sendiri saking kagetnya.

Jangankan beliau, saya juga kaget ngeliat ekspresi beliau yang segitunya. Saya pikir beliau udah tau dari Ketumnya, dan selama ini beliau tidak pernah bertanya saya ikhwan atau akhwat.

Selain ikhwan yg sering salah paham,kawan-kawan akhwat pun juga banyak yg salah paham soal ini. Dan hal ini tidak terjadi sekali aja, tapi beberapa kali. Terutama ketika bersilaturahim ke kampus-kampus lain atau pun ketika syuro' FSLDK atau Jarkomnas LDK PTM yang harus saya ikuti. Sampai akhirnya, saya jadi kebal alias cuek aja ( ==" )

Saya sampe ngerasa heran, nama "baru" yg saya "bikin" waktu kuliah, maksudnya kan supaya saya ngga terjebak sama nama pasaran, malah jadi menyulitkan saya disisi lain. Saya sampe bingung, emang nama saya kayak nama ikhwan banget ya ? : Husnul. K. Marzuki... (kali karena -Khatimah-nya saya singkat..)

Akhirnya stelah lulus kuliah dan balik ke kampung nan jaoh dimato : samarinda, saya pun "mengembalikan" nama saya jadi seperti aslinya : Husnul Khatimah. Tapi... (egen egen tapi..) , saya jadi balik lagi ke masalah yg pertama : nama pasaran... (aishhh mbulet ae nul..nul...).

Di organisasi kemasyarakatan yang saya ikuti, saya mendengar ada 4 Husnul termasuk saya (tapi yang saya temui secara langsung baru 2 orang, it's mean ada satu Husnul lagi yang belum saya tau ketemu-i ( :D)

Nah, beberapa minggu yang lalu datanglah segepok undangan walimah ke sekolah tempat saya mengajar. Ketika membaca siapa yang menikah, kawan-kawan saya bertanya-tanya, karena menemukan nama Indah saya tertera disana. Kira-kira begini dialognya..

"Wah, ustzh. Husnul nikah kah? "

" Tapi kok gelarnya S.P aja....? , kurang es i ni? "

" Salah cetak kali... "

Tapi..

" Loh, kok ada undangan buat ustzh. husnul ? , kalo dia yang nikah masa' dia ngundang dirinya sendiri ??? "

disitulah baru yakin, itu bukan Husnul saya.. : D

Kejadian undangan ini, bukan hanya bikin salah paham sesaat sesama kawan guru saya, tapi juga pada anak-anak (murid-murid) saya. Mereka bahkan lebih susah dipahaminnya. Sampe ada yang ngomong gini :

Anak saya : " Tseeeeaahh ustdzah lah nikah gak bilang... "

Saya : " eit, itu bukan utdzah nak...nama-nya aja sama... "

Anak Saya : " Ahh, masa' sih ?? kok bisa sama gitu....jangan ditutupin dah ustdzah.... "

Saya : " lhaaa, siapa yg nutupin, emang bukan nak... liat aja gelarnya beda, yg itu S.P kalo ustdzah S.Psi "

Anak Saya : " ahh ustdzah, kurang itu cetakannya...ketinggalan es i nya..."

Saya : " hadeeeh.. coba liat alamatnya, di teluk lerong bukan tu ? "

Anak Saya (ngeliat undangan milik guru lain) : " bukan, di wahid hasyim..."

Saya : " Nah tu..berarti bukan dirumah ustdzah...."

Anak Saya : " ahhh, bisa aja nikahnya dirumah penganten cowoknya....udahlah ustdzah gpp kok kita tau... "

Saya : " yaa nak..mana ada nikah ditempat penganten cowok, biasanya ditempat penganten cewek nak.. beneran ini bukan ustdzah nak... coba liat nama ayah penganten ceweknya tu... "H. Marzuki" bukan ? "

Anak Saya : " Bukan ustdzah... "

Saya : " nah tu..bukan kan? "

Anak Saya : " Iya ya, bukan.... "

Dikasih argumen panjang baru anak saya itu percaya kalo yg nikah itu bukan saya, tapi abis itu pertanyaan terakhirnya yang gak enak... " Kalo gitu...ustdzah kapan nikahnya ?? "

Speechless....

Hmmmf, untuk menghindari kesalah pahaman yang tambah banyak, saya pun mulai menambahkan nama abah saya lagi dibelakang nama saya. Tapi, bukan nama panjang beliau : Marzuki, soale ada kawan saya satu instansi yang namanya Marzuki juga. Ntar jadi makin salah paham...jadi tambah ribet.

Akhirnya saya tambahkan nama kecil abah saya, sehingga menjadi ; Husnul Khatimah Umar seperti nama pesbuk saya ini.

Saya jadi berpikir, bagus kali nama kita dikasih bin/binti kayak nama-nama orang di Brunai Darussalam atau di Malaysia. Jadi otentik, biar namanya sama tapi kecil kemungkinannya untuk ketuker (salah paham), soale kebanyakan ditulisnya sampe tiga generasi. Misalnya : Husnul Khatimah binti Umar bin La Boncu bin La Birru bin La Abdullah. Keren ya... :D

didepan Kazekage Gaara

jam 10 lewat 3 menit waktu kamar nenek.

tanggal 5 Mei 2011 (3 hari menuju 08052011)

Mr. Anton-ku


Bismillah...

Rata-rata anak SMPN 1 Samarinda pasti kenal sama pak Guru yang satu ini, terutama yang pernah diajarin beliau (ya iya-lah nul..^^). Beliau adalah Guru Matematika saya waktu kelas III SMP.

Badannya tinggi besar macam SBY gitu, kulitnya gelap, suara (dan bahasanya) tegas dan keras , dan beliau juga salah satu Guru yang terkenal galak di SMP 1. Pak Anton nama panggilan beliau.

Sejak saya menginjakkan kaki di kelas III SMP ( III B/*Tabok ) dan bertemu dengan Pak Anton, saya sudah merasa takut dan merasa harus berhati-hati sama Pak Guru yang satu itu.

Sampai sekarang saya masih ingat pertama kali kami diajarin sama Pak Anton. Di hari pertama itu beliau menjelaskan peraturan-peraturan yang harus ditegakkan di kelas ketika pelajaran beliau berlangsung diantaranya tidak boleh terlambat masuk kelas lebih dari 15 menit, jika lewat dari 15 menit maka kami dipersilahkan untuk belajar di luar kelas. Nah, pernah waktu pertemuan ke dua, saya telat banget datang kesekolah, pas liat jam udah telat lebih dari 15 menit. Karena saya ingat kata-kata beliau jadi saya memutuskan untuk tidak masuk kelas. Dan saya pun belajar diluar kelas (tsaahh kesahnya rajin.. ehehehhee) , nyatat pelajaran sambil ngintip-ngintip papan tulis kelas. Pas lagi asyik nyatet sambil ngintip, beliau tiba-tiba keluar kelas (kali ngerasa kalo diintipin) , trus ngeliat saya kemudian duduk disebelah saya lalu bertanya : “Kamu kelas berapa nak?” ,

Saya dengan takut-takut ngejawab : “III B pak...”.

“ Loh kok ngga masuk ? “ Bapaknya tanya lagi.

Trus saya jawab “ Maap Pak, saya ingat kata Bapak kalau telat lebih dari 15 menit kita ga boleh masuk kelas, jadi saya belajar diluar aja Pak..” sambil memperlihatkan catatan saya ala kadarnya (susah je nyatet isi papan tulis sambil ngintip...).

Pak Anton terus diem sebentar dan Saya pun akhirnya disuruh masuk kelas. Pas saya masuk, teman-teman saya pada bingung, heran saya kok baru datang dan boleh masuk kelas. Padahal saya udah didepan kelas dari tadi. Ehehehehe :D

Selain soal gak boleh telat itu, kami juga dilarang untuk meminta bantuan pada otak jepang alias kalkulator untuk menghitung kecuali jika dibutuhkan dengan sangat, trus kami juga diwajibkan untuk mempunyai 3 Jenis buku tulis : Buku Catatan, Buku Tugas dan Buku PR dan tidak boleh dicampur dengan pelajaran lain. Pernah ada kawan yang menyampur buku tulisnya dengan pelajaran lain, Pak anton tersinggung dan buku kawan saya itu pun harus terima nasibnya dilempar begitu aja (beruntung tak beliau sobek).

Ada satu lagi yang paling unik dari beliau, yaitu sistem penilaian pake jumlah tandatangan beliau.

Jadi nih setiap beliau ngajar, hampir selalu ada 4 agenda :

  1. Beliau akan menjelaskan konsep materinya (dari asal rumus sampe inti materi)
  2. Kemudian Beliau akan memberi kami “pemanasan” soal untuk menguji apakah sebagian besar dari kami paham materi yang barusan diajarin atau tidak.
  3. Lalu beliau akan memberi kami tugas yang harus kami selesaikan hari itu juga.
  4. Dan yang terakhir beliau akan memberikan kami PR untuk dikerjakan dirumah.

Nah, dari 4 agenda itu, agenda ketiga yang paling seru. Karena disitulah sistem tandatangan itu bekerja.

Jadi pada setiap paket tugas yang betul beliau akan memberikan 1 buah tandatangan dan tandatangan ini akan dihitung pada akhir Catur Wulan. Semakin banyak kita koleksi tandatangan beliau maka semakin tinggi pula nilai kita. Trus waktu pengerjaan tugas dibatasi, sehingga bikin situasi jadi tambah seru dan menegangkan. Saking ketatnya waktu sampai-sampai kalau pun mau nyontek gak kan sempat karena masing-masing murid udah sibuk ngerjain itu tugas dan pengen cepet-cepet ngumpulin jawabannya sebelum Pak Anton bilang :”STOP” atau “Yak! Cukup !”.

Yang paling enak yang duduk didepan, lebih deket jadi cepet sampe ke meja guru. Yang paling kasian kalo udah cepet-cepet ngerjain dan cepet ngumpul tapi jawabannya salah, soalnya susah punya kesempatan buat ngumpul lagi kecuali Bapaknya buka “lowongan” lagi.

Saya pernah beberapa kali udah buruan mau ngumpul, pake acara lari segala (soalnya saya waktu itu duduknya dipojokan paling belakang) tapi pas sampe didepan meja guru Pak anton keburu bilang “Yaaaak ! Cukuuup !”. Aiishhhh ngga bisa ngumpul saya, dan nunggu Pak Anton buka “lowongan” lagi. Sedihnyaa..

Awalnya saya tersiksa dengan metode beliau itu, soalnya kita tu harus ngerjain semua soal dengan cepat dan benar, gak boleh bikin salah satu nomer pun. Tapi lama-lama jadi sangat mengasyikan, hal ini juga yg bikin kita mau ngga mau harus serius pas beliau lagi nerangin konsepnya dan kalau masih ngga ngerti harus berani nanya , soalnya kita tau pasti bakal ada perburuan tandatangan nantinya yang akan mempengaruhi nilai kita.

Selain metode ngajar beliau yg unik itu, ada satu hal lagi yang membuat saya salut abis dengan beliau. Meskipun beliau terkesan angkuh dan galak, tapi beliau tipe Guru yang menerima kritik dan mau belajar dari siapapun bahkan dari muridnya sekalipun.

Suatu hari, ketika jam istirahat saya iseng nengok ke kelas sebelah (III A / *Geganta) dan menemukan Pak Anton sedang belajar sebuah rumus dengan salah satu penghuni III A yang notabene murid beliau, Reinard.

Awalnya saya kira, Reinard yang lagi belajar sama Pak Anton di Jam Istirahat, ternyata saya salah besar, yang lagi belajar bukan Reinard tapi Pak Anton !

Jadi ceritanya, pas Pak Anton jelasin konsep asal sebuah rumus (saya lupa rumus apa, ntar kita tanya Reinard aja kali masih inget dia..), Pak Anton ngejelasinnya panjaaaaang banget sampe hampir ngabisin luas papan tulis. Nah si Reinard ternyata punya konsep yang jauh lebih simple dari yang Pak Anton ajarin. Disitulah Pak Anton belajar sama Reinard, darimana Reinard dapat itu konsep rumus.

Keren kan ? :D

Saya pikir awalnya beliau itu orangnya angkuh, arogan dan galak. Ternyata beliau adalah orang yang terbuka dan haus ilmu sampai tak ada rasa malu atau gengsi belajar sama orang yang jauh lebih muda dari beliau. Setelah liat kejadian itu lunturlah semua presepsi negatif saya tentang beliau, yang tertinggal hanya kekaguman hingga saat ini.

Bagi saya, beliau bukan "hanya" salah satu Guru Matematika saya tapi juga salah satu Guru Ajaib untuk saya di Universitas Kehidupan ini.


didepan kazekage gaara

jam 5 kurang 3 menit waktu kazekage gaara

#yg lagi kangen banget sama guru2 unik disekolah

Keterangan :

* Tabok = TigA B OKe (Nama Kelas III B angkatan '99)

*Gegenta = GEnerasi GENius Tiga A (Nama Kelas III A angkatan '99)