Pages

Sabtu, Maret 12, 2011

ada sepak bola di kepala saya

Pertengahan tahun 98, waktu itu saya baru aja naik kelas 3 SMP. Di suatu malam yang biasa-biasa aja, gak panas dan gak juga dingin, saya pergi kekamar adek saya yang paling tua. Pas baru buka pintu, saya terkejut, soale langsung disambut oleh seorang laki-laki tinggi tapi kurang tinggi juga sih untuk ukuran orang Eropa (gimana to nul?) . Dia lagi pake baju bola lengkap dan sedang berupaya menggiring bola. Rambutnya tidak begitu hitam, agak bergelombang dan seperti orang Italia pada umumnya : cakep tentu saja. Tapi sayang, dia terjebak didalam poster ukuran A5. Sayang, sayang sekali (weww.. *ngelus-ngelus dagu…).

Tapi biarpun cuman poster, tak memudarkan ketertarikan saya pada mas ganteng satu itu (cikiciww..).

Saya langsung tanya sama adek saya yg kebeneran juga ada disitu, “ Siapa ni kir?” ,

“Pemaen bola..” jawabnya santai kayak dipantai sambil makan roti pake selai ditemani nyiur melambai.

“ Iya tau, itu pemaen bola..namanya sapa kir?” saya makin penasaran.

“ Aduh, repot, baca pinggirnya tuh!” adek saya menjawab sekenanya tapi jelas ada benarnya.

Oia !, bener juga, dipinggir poster itu ada tulisan nama dan lengkap dengan klub tempat dia maen saat itu. Namanya saya baca jelas : Filipho “Pippo” Inzaghi, sedang klubnya : Juventus.

Sejak pertemuan perdana saya dengan Pippo Inzaghi itu malam, saya terus mencari informasi tentang dia, dan seperti para fans-er2 yg laen, saya juga turut mengoleksi gambar-gambar dia yg saya gunting dari Koran atau majalah ditambah hasil tukeran gambar pemaen bola lain sama tetangga saya yg super tomboy.

Dari Inzaghi juga saya kenalan dengan Liga Italia, dan berhasil membuat saya mau nongkrongin duet mautnya bareng Alesandro Del Piero di Juventus, yang akhirnya merembet ke pertandingan-pertandingan sepak bola yang lain. Dan dari kata “Inzaghi” juga nama kecil saya : “Aghi” berasal. Adalah Dini, kawan SMP saya yang pertama kali memanggil saya “Aghi”.

Disisi lain, dua lingkungan terdekat saya (rumah dan sekolah) memfasilitasi jatuh cinta pada pandangan pertama saya pada sepak bola (baca: inzaghi) dengan manisnya.

Dirumah, saya punya 1 abah (ya tentu duonggg) dan 3 adek laki-laki yang semuanya hobi nonton bola.

Disekolah, khususnya dikelas saya (III B a.k.a Tabok) , saya punya teman sebangku dan teman-teman cowok sekelas yg juga suka banget nonton bola. Bahkan ada satu teman saya yg langganan Majalah Liga Italia yang selalu dibawa ke sekolah tiap ada terbitan baru dan kami pada boking buat giliran baca. Oia, kalian tau kan permainan “pancasila ada lima dasar” ?, biasanya nebak nama buah, negara, artis, dll. Nah, kalo kita yg maen, kita suka tebak nama-nama pemain sepak bola. Makanya pada saat itu banyak nama pemain bola dari A-Z yg saya hapal, buat amunisi maen. :D

Selain itu saya punya teman sebangku yang juga suka sepak bola, tapi kami sering berantem gara bola, soalnya saya suka Juventus dia suka Inter Milan (tau kan kenapa berantem?).

Pertandingan yang paling saya ingat itu Final Piala Eropa 2000, waktu itu Italia ketemu Perancis di Final.

Saya nonton dirumah bareng 2 adek saya dan abah saya. Saya dan 2 adek saya dukung Italia, cuman abah saya doang yang dukung Perancis. Padahal nonton dirumah, tapi kita heboh banget, saya ngacungin handuk “Lazio” kayak ngacungin spanduk sebagai simbol dukung Italia, 2 adek saya pake baju bola AS Roma n Italia. Abah saya aja yg santai pake kaos oblong putih dan sarungan.

Pertandingan berjalan seru banget, meskipun bang Inzaghi ada di bangku cadangan. Pas Italia memimpin 1-0, abah saya bete dan memutuskan untuk tidur didepan tipi. Trus beberapa menit sebelum waktu abis, abah saya bangun dan bilang “ Udah berapa kosong? “ ,

“Perancis kalah bah “ jawab kami.

“Ah..entar Perancis yang menang, liat aja..” kata abah yakin banget, kek dapat wangsit pas tidur bentar tadi.

“ Kedada harapan bah…sudah mo habis ni…” kata saya mencoba menyadarkan abah atas kekalahan yg bakal dirasain Perancis.

Trus pas didetik-detik terakhir, pemaen , pelatih, n crew keseblasan Italia yang duduk dipinggir lapangan udah siap-siap mau ngerayain kemenangan, udah pada bediri mereka dan beberapa orang tak lupa bergandengan tangan kek orang mo nyebrang berjamaah. Tapi siapa sangka, ternyata Sylvain Wiltord membungkam suka cita Italia yg baru aja mo dikeluarin. Bang Wiltord sempat-sempatnya bikin Gol didetik-detik terakhir!!!.

Hadeeeggggh!…., Abah saya yg tadinya baring uring-uringan langsung duduk tegak dan bilang “Nahh..apa kata abah! Iya kalo !! ”

Saya dan 2 adek saya bungkam seribu bahasa. Cuman bisa nganga doang. Tapi kita masih optimis Italia masih bisa menang.

Rupanya gol Bang Wiltord itu menaikkan mental juara keseblasan Perancis. Mereka berusaha menyerang kembali, namun mental juara keseblasan Italia tak mau kalah. Mereka berusaha bertahan dan membalas menyerang, namun belum berhasil membuat gol. Sampai peluit tanda waktu habis pun kedudukan masih seri 1-1, hingga pertandingan terpaksa diteruskan dengan perpanjangan waktu. Dan akhirnya pada perpanjangan waktu itu Bang Trezeguet menyarangkan gol ke gawang Bang Toldo.

Perancis dinyatakan menang. Abah saya tertawa bahagia, sedangkan saya dan 2 adek saya, cuman bisa nganga dan masih ngga percaya Perancis yang menang. Sedih euy!

Itu kekalahan yang paling menyakitkan sepanjang saya nonton pertandingan bola hingga hari ini.

Eniwei, pas SMA saya masih suka bola dan masih mendukung klub yang sama Juventus dan orang yang sama, Pippo Inzaghi meski Inzaghi memutuskan meninggalkan Del Piero pindah ke AC Milan. Tapi kecintaan saya pada bola mulai luntur ketika kuliah soale mulai disibukkan sama kuliah dan beberapa kegiatan lain. Waktu kuliah, terutama setelah Piala Dunia 2002, tak satupun pertandingan bola yang saya nonton sampai habis, mengikuti beritanya pun tidak kecuali cuman sekilas jebret doang.

Nah, setelah vakum kurang lebih 7 tahunan, Piala Dunia tahun lalu memancing kembali hobi bola saya meskipun pada akhirnya jagoan-jagoan saya (Portugal, Korsel dan Jerman) tak ada satupun menang.

Kalo dibilang maniak bola, enggak juga, soale gak semua pertandingan bola saya liat. Saya cuman nonton pertandingan-pertandingan tertentu, misalnya kayak tarneg (tanding antar negara) atau tarklubsayka (tanding antar klub yg saya suka). :D

Kalo ditanya klub mana yang disuka atau pemaen bola mana yg disuka, kalo dulu pasti mantap saya jawab Juventus & Pippo inzaghi, tapi kalo sekarang, honestly belum ada satupun klub atau pemaen bola yang saya suka persis seperti saya suka Juventus ataupun Inzaghi dulunya. Saya sekarang cuman suka keseblasan Jerman, pelatih dan skuad pemainnya, tidak kurang tidak juga lebih. Hanya Tim Jerman.

Banyak hal yang saya suka dari sepak bola, meskipun awalnya cuman suka bola gara-gara Bang Inzaghi. Sepak bola mengajarkan saya banyak hal. Ada pelajaran tentang sportivitas, kebersamaan, kerjasama, disiplin, kreativitas, inovasi, kejujuran.

Sepak bola buat saya seperti sebuah miniatur kepribadian seorang manusia. Ada Id yang “memaksa” ingin selalu menang, mencetak gol-gol kehidupan, haus pujian, ketenaran. Ada Super Ego yang tersimbolisasi lewat peraturan, statuta dan wasit. Serta ada Ego yang melogikakan keadaan, memutuskan untuk membawa bola sendiri atau membagi bola, memutuskan menerima kekalahan atau menolaknya, dan seterusnya. Bahwa seperti kata om Maslow pencapaian kebutuhan manusia tertinggi adalah pencapaian prestasi (aktualisasi diri), dan prestasi dalam sepak bola bukan hanya soal banyak-banyakan nyetak gol tapi juga totalitas dan loyalitas seorang pelatih, pemain, wasit, manajer, pengurus pederasi sepak bola, bahkan penonton.

Tidak hanya itu, kita juga bisa belajar dan menyaksikan tahapan-tahapan perkembangan kesuksesan atau keterpurukan seseorang atau sekelompok orang. Untuk sukses menjadi pemain sepak bola misalnya, bakat saja tidak cukup, perlu usaha keras dan tempat yang tepat.

Banyak bakat-bakat bagus tidak berguna terlindas oleh Ego yang memenangkan Id atas Super Ego : tidak disiplin, tak taat peraturan/kontrak, terlena dengan pujian dan ketenaran, dll. Tapi banyak juga bakat-bakat yang sangat bagus bahkan tapi juga tak menghasilkan apa-apa di lapangan karena diurus oleh orang atau sekelompok orang yang salah/tak professional.

Itu baru sebagai pemain, belum sebagai penonton yang selalu tampak lebih pandai daripada pemain bahkan pelatih sekalipun dan peran-peran lain dalam dunia sepak bola.

Belasan tahun mengenal sepak bola, mengajarkan saya bahwa sepak bola adalah juga miniatur kehidupan. Kehidupan bagi saya seperti sebuah pertandingan sepak bola, kita bermain memerankan peran-peran kita dalam panggung dunia sepak bola dengan waktu terbatas dan aturan main yang jelas. Ada pelatih, pemain, crew, wasit, manajer, panitia, anak gawang, penonton, pekerja indrustri bola, wartawan yg lengkap dengan segala aturan main untuk masing-masing peranan. Bahkan seperti di alam nyata, kita pun bebas memilih peran yang mana dan berapapun jumlahnya.

Dan begitulah, jika Catur dalam kepala Andrea Hirata bukan hanya sekedar Catur, maka dalam kepala Saya, Sepak Bola bukan cuman sekedar Sepak Bola.

Masih didepan nagamochi,

Ahad, 6 Maret 2011, jam 8 malam lebih 15 menit waktu kamar saya.