Pages

Rabu, Oktober 29, 2008

Episode Empat Zaman di Negeriku

Kuhirup udara kebebasan dalam dalam
Lama sekali
Seakan tak pernah inginku kehilangan
Perlahan kubuka mataku
Hmm..cukup pas tempat ini
Untuk melihat opera kehidupan manusia-manusia di negeriku
Kualihkan pandanganku kini kebelakang
Hey....! apa itu?
Darah...senapan...samurai...mesiu..meriam..!
Lo...!
Darah...Bambu runcing...golok...rencong....keris...!
Nafasku menderu turun naik
Dadaku bagai diguncang semangat membara
Tanganku mengepal kuat
Mataku nanar memancar kebencian
Orang asing biadab...rakus..jahat..kejam!!
Aku ingin melangkah tapi tak mampu
Aku tak mampu!
Ah!! Jauhkan itu dariku! jauhkan!
Mataku terpejam
Kedua tanganku memeluk erat telingaku sendiri
Setelah itu hening...sepi..senyap..

”Indonesia..tanah airku.....tanah tumpah darahku...hiduplah negeriku..hiduplah tanahku..bangsaku, rakyatku, semuanya...” *

Perlahan tapi pasti terdengar suara itu..
Aku tau lagu itu..
Aduh!telingaku pekak..
Semua orang teriak ”merdeka”!
Tak henti-henti..
Lalu..
Pria tampan naik tahta, pria bersahaja mendampingi
Senyum merekah dibibirku
Hatiku bangga berkata..
”indonesia sudah merdeka! Kini kami belajar berdiri di kaki kami sendiri!
Kami miskin tapi punya harga diri!
Pantang mengemis walau dapur tak lagi mengepul
Tak rela merangkak dibawah kaki asing
Benci menjilat hanya demi secuil emas
Ya! Kami miskin..tapi punya harga diri!”
Dadaku membusung
Bangga luar biasa
Bulan sabit wajahku seakan enggan berhenti merekah
“kami miskin tapi punya harga diri!”

Mataku terus mengawasi sekitarnya
Lalu diam pada satu peristiwa
Bau anyir darah menusuk hidung
Bercampur bau busuk bangkai yang bahkan sudah tak utuh lagi
Darah..kepingan tubuh..kepala..sobekan kitab suci..
Langit cerah berubah merah..
Berhari-hari tanpa tau kapan berakhir
Sabit..arit..sabit..arit..!
Gigiku gemeretak menahan marah
Tujuh jendral jadi tumbal
Ajudan, prajurit, sipil jadi korban
Saudara sendiri dikhianati
Ditikam dari belakang
Topeng-topeng munafik haus tahta berseliweran
Budak-budak nafsu menari-nari
Nodai tanahku tanpa rasa bersalah
Butiran kristal bening jatuh diwajahku
Jauhkan masa itu dari hadapanku! Jauhkan!
Aku tertunduk lemas
Benci, duka bercampur bagai adunan roti bantat

Lalu...
Sebentar! Tunggu dulu!
Bau ini pernah kucium sebelumnya..
Seperti...
Aku ingat! Ya..! aku ingat!
Ini aroma kemakmuran
Aroma ketengangan
Aroma kebahagiaan
Tapi..tunggu dulu..
Ada yang berbeda..
Sedikit palsu..ya..palsu..
Tapi lumayan..daripada kemarin..
Hmm..
Mataku heran menatap sosok didepanku..
Gagah!
Alisku bertautan ditengah wajah lonjongku
Memori otakku berputar-putar
Mencocokkan nama-nama dan wajah-wajah
Aha!
Aku tau wajah itu!
Wah! Kejutan!
Pria gagah itu naik tahta
Tidak tanggung-tanggung
Kursi pria tampan diberikan padanya
32 tahun, Kami hirup ketenangan, kebahagiaan
32 tahun, Kami tatap indahnya kebersamaan, kedamaian
32 tahun, kami rasa nyamannya kemakmuran, kekayaan
Kembali bulan sabit merekah diwajahku
Kali ini lengkap dengan lesung pipitnya
Saking bahagianya, bisa saja kubawa terbang diriku ini...
Ya ..terbang!

Buk!!
Aduh!
Kepalaku pening..
Burung-burung kecil berputar-putar disekitar kepalaku
Perlahan kubuka mataku..
Astaga!
Ada apa ini?
Kenapa banyak orang berlarian?
Kenapa ada polisi? Ada perang kah?
Tapi kita melawan siapa? Mana musuhnya?
Radar di kepalaku tidak menangkap ada orang asing..
Tapi sebentar! Ada! Ada! Tapi hanya baunya...
Mana orangnya?
Huh! Pengecut yang licik..
Eh bukan..
Si licik yang pengecut..
Ada asap hitam mengepul hebat persis didepanku..
Suara tembakan senapan tak henti berkoor..
Laksana paduan suara yang tak pernah latihan
Ada darah...ada tangisan...ada pekik “saatnya revolusi..!”
Ada teriakan...”ayo reformasi!”
Aku masih saja bingung
Kenapa banyak air mata?
Padahal kemarin masih ada tawa
Kenapa sekarang perang?
Padahal kemarin masih ada damai..
Lalu kenapa mahasiswa itu pindah kampus?
Setahuku MPR bukan laboratorium mereka
Kenapa banyak orang merangkak mencari nasi?
Setahuku kemarin kita sudah mandiri
Ada apa ini?
Indra penglihatanku membulat tak percaya

O...ternyata kepalsuan telah terungkap!
Hanya empat windu mampu bertahan
Banyak orang mulai angkat suara
Tak tahu yang mana malaikat yang mana setan!
Katanya demi rakyat!
Katanya demi negeri ini!
Benarkah? Entahlah..
Yang jelas..
Strategi berbau busuk mulai dijalankan
Terdengar jelas tawa licik yang menggema disetiap sudut negeri ini
Dilapisi tangisan buaya badut-badut serakah
Peran-peran baru akan dimainkan
Mata –mata licik, sinis, rakus sembunyi dibalik topeng-topeng pahlawan
Hati hati kerdil tersimpan rapi dibalik jas baru
Tikus-tikus mulai membuat sarang disini
Mereka berebut keju yang ditawarkan raksasa hitam bermata satu
Tentu tak lupa menimbun susu lokal yang sudah ditinggal pemiliknya atau merampas dengan lembut sambil menyebar penyakit
Bukan cuma tikus
Disini juga ada kera-kera serakah
Manusia belut
Ular kepala seribu juga ada
Karena mereka negeriku jadi aneh
Orang baik disia-siakan
Orang cerdas malah dibuang
Orang jujur dipenjara
Malaikat diteror dan difitnah
Si pendusta malah dipuja-puja
Heran!
Disini banyak topeng bertahta berlian
Padahal didalamnya tak lebih dari batu kali
Disini banyak orang mengaku pahlawan
Padahal otaknya sibuk merangkai rencana jahat
Surga, neraka sulit dibedakan
Yang nyata-nyata salah didepan mata
Dalam sekejap bisa jadi benar
Yang nyata-nyata benar
Dalam hitungan detik bisa jadi salah
mata mata banyak yang buta
tertutup keserakahan akan rupiah
telinga telinga banyak yang tuli
tertutup kehausan akan tahta

rasanya kepalaku
takut untuk menghadap kedepan
seandainya semua bisa diubah
diubah waktu hari ini dengan corak berabad-abad silam
seperti masa dua umar jadi khalifah
adakah mutiara yang masih tersisa disini?
Cukupkah jumlahnya untuk menghiasi tanah ini?
Tak ada salahnya menanam harapan
Karena Tuhan pasti mendengar
Karena Tuhan pasti masih sayang
Semoga gelap yang ada masih bisa jadi terang ,
bersinar...
Semoga terang yang ada masih terus bertambah terang sehingga gelap tak sanggup datang lagi
Semoga hitam yang ada masih bisa jadi putih,
bersih...
Semoga putih yang ada makin meluas putihnya sehingga hitam tak mampu kembali lagi..
Semoga saja...Semoga saja...

1 maret 2004, samarinda, jam satu kurang lima pagi waktu kamar nenek,
* yg dicetak miring adalah potongan lagu indonesia raya

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ho..ho..
puisi sejarah bu?

husnul khatimah umar kutty mengatakan...

maunya sih begitu...:)