Pages

Senin, Mei 23, 2011

Soe Hok Gie yang saya kenal...


Bismillah..

di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya. Kadang-kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah. Apatiskah atau anarkis. Moga-moga tidak menjadi kedua-duanya

(Soe Hok Gie, Selasa, 20 Agustus 1968)

Pertama kali mendengar nama “Gie” disebut, pas Riri Riza, Mira Lesmana, Nicholas Saputra, Sita RSD dan Wulan Guritno jadi bintang tamu di acaranya Tika Panggabean bertahun-tahun yg lalu . Waktu itu saya cuman bilang “Emang sapa ni orang, kok sampe dibikinin pelem”. Pas diterangin di acara itu, saya langsung menjadikan tu pelem sebagai target pelem mostwanted saya (guayyamu nul..).

Tapi sayang seribu sayang, pas tu pelem diputer dibioskop kesayangan anda, saya ngga sempet liat (fiuhh =.=”). Baru setelah sekitar 2 tahun kemudian saya baru bisa berjodoh dengan itu pilem. Waktu itu, cover tu pelem nangkring dengan tenang di tempat penyewaan vdc paporit saya (Classic OVCDR, pa kabar bes? ^^). Begitu liat, langsung pinjem deh.

Setelah liat pelemnya, saya baru mengerti kenapa Mira Lesmana sebegitu nge-fansnya sama ni orang, sampe-sampe beliau merasa tak apa-apa ketika pilem ini tak menghasilkan untung sama sekali, malah rugi. Beliau bikin ini pelem bukan untuk dikomersilkan, tapi untuk menginspirasi orang-orang, terutama pemuda Indonesia saya rasa. Dan Mira berhasil, banyak pemuda-pemuda Indonesia mulai kenal Hok Gie dan terinspirasi dengannya, salah satunya adalah saya (kepedean buanget), tapi saya memang merasa terinspirasi sekaligus malu dengan Hok Gie.

Btw, Kalo kepala saya sebut nama Hok Gie, maka saya akan teringat 6 pemuda yang lain yg juga punya ruangan yg sama di kepala saya : Ahmad Wahib, Ernesto Guevara, Sayyid Qutb, Malcom X, Bagus Takwin dan Eko Prasetyo. Tapi saya ngga akan bicara soal 6 pemuda itu, ini hari saya mo ngomong soal Hok Gie aja ^^.

Setelah nonton pelemnya, saya semakin tertarik untuk mencari tau soal Gie, terutama mencari catatan hariannya yg dibukukan. Tapi perjalanan saya mencari buku hariannya ternyata gak mudah. Mulai nyari yg gratisan (dasar mahasiswa) di internet gak nemu, 6 toko buku dimalang juga udah saya ubek-ubek tapi tetap ga nemu sampe nyari diloakkan pun ga dapat. Akhirnya saya pasrah aja, sama seperti pelemnya, kalau berjodoh pasti akan bertemu.

Baru pada akhir tahun 2007 saya bertemu juga dengan itu buku. Waktu itu saya pas lagi maen kekosan adek saya, dan saya menemukan catatan harian Hok Gie nongkrong manis dikamarnya. Langsung hari itu juga saya pinjem sebentar untuk dipotokopi dan dibalikin besoknya. Ternyata saya memang berjodoh dengan catatan hariannya :D

Trus di Januari 2010, setelah 4 bulan menanti, saya kembali bertemu dengan “bukunya” yg lain : “Soe Hok Gie..Sekali Lagi”. Isinya kumpulan testimony kawan-kawan dekatkanya dan beberapa kumpulan artikel yg ditulisnya. Sedang di akhir 2010 saya bertemu dengan skripsi sarjana muda-nya yang dibukukan : Di bawah Lentera Merah.

Soe Hok Gie, awalnya sama seperti kebanyakan kita : pemuda Indonesia yang biasa saja. Namun jadi luar biasa, karena isi kepala-nya dan apa yg dia lakukan untuk bangsa ini (wedeuuhh..smoga gak lebai ya nul..) .

Awalnya saya pikir Hok Gie seperti orang cerdas pendiam pada umumnya : cool, calm, confident gitu (kek tokoh rangga di aadc atau yg digambarkan versi filmnya). Ternyata abis baca catatan hariannya (apalagi baca testimony temen2nya di “ Soe Hok Gie Sekali Lagi” , jadi mengubah 170,5 derajat pribadi Hok Gie di mata saya.

Sejak kecil ia suka baca buku, dan ketika SMP ia mulai menulis catatan harian. Ia suka mengamati lingkungannya dan berpikir cenderung lebih jauh dari orang seusianya alias visioner. Hok Gie juga suka memelihara hewan, dekat dengan alam, ia suka naik gunung, diskusi, menonton film dan dengar musik, terutama folks song. Ia juga tipe orang jalanan yang rumahan. Selarut apapun dia pergi, selalu pulang kerumah, tidak pernah menginap ditempat lain kecuali lagi naik gunung dan keluar kota :D.

Ia juga suka menulis dan puluhan tulisannya terbit di media (oia, papa dan abangnya juga seorang penulis). Dalam 3 tahun (1966-1969) tercatat ada 35 artikelnya yg diterbitkan diberbagai media (sinar harapan, kompas, dll) dan dibukukan bertahun-tahun kemudian.

Meskipun dirumah ia sangat jarang menunjukkan emosi (karena pola kehidupan dalam keluarganya memang seperti itu), namun ketika bersama teman-temannya ia tidak seperti itu. Hok Gie orang yang humoris, terbuka, jujur apa adanya dan hangat. Siapapun yang dekat dengannya akan merasa diperhatikan, didengar, merasa spesial dan merasa dia sangat tulus (yang dari hati akan sampai ke hati juga kan ? ^^). Saya terharu ketika tau pada suatu kali Hok Gie mengirim jeplakan jari tangannya untuk sahabatnya di riau, supaya sahabatnya itu bisa terus merasa berjabat tangan langsung dengannya. J Ia sangat perhatian dan bersedia membantu apa saja yang ia bisa lakukan untuk temannya, mulai dari menjenguk yang sakit, belajar, sampai melayani curhatan teman-temannya dengan sabar.

Pergaulan Hok Gie sangat luas, mulai dari supir, pedagang, tukang becak, sampai birokrat negara dan militer. Pengetahuannya dan pergaulannya yg luas ini membuat ia istimewa. Ia bisa menyesuaikan diri pada lingkungan apapun tanpa membuatnya jadi bunglon. Namun disisi lain ia sangat keras kepala, tegas, terkadang arogan, tidak kenal kompromi untuk hal-hal yang diyakininya. Ia melawan ketidak adilan bagi siapapun tanpa terkecuali.

Ia bukan orang yang duduk merenung dibalik meja hanya berpikir, mengkritik tanpa solusi. Ia bukan hanya seorang pemikir tapi sekaligus aktivis. Ia berbuat sesuatu untuk idealisme-nya : ia menulis pemikirannya, kritikannya, pembelaannya atas ketidakadilan, ataupun artikel inspiratif di media lokal dan nasional, ia tidak hanya diam prihatin ketika melihat seorang miskin papa terpaksa makan kulit mangga dari tong sampah karena lapar, ia memberikan uang terakhirnya untuk orang itu (umurnya belum genap 17 tahun waktu itu tapi kesadaran sosialnya cukup tinggi), ia membantu menertibkan calo-calo taksi dibandara, ia pula jadi salah satu orang yang menghidupkan kegiatan-kegiatan mahasiswa di FS UI, salah satu tokoh dibalik demonstrasi angkatan 66, dll.

Hok Gie memiliki satu hal yang saya sukai dari seorang manusia : Isi Kepalanya. Hok Gie itu cerdas, dan dia tau cara memamfaatkan kecerdasannya serta menularkannya pada orang lain, terutama pada orang-orang yg dekat dengannya. Banyak kawan-kawan Hok Gie yang merasa beruntung pernah mengenalnya dengan dekat. Mereka merasa diri mereka berkembang, lebih dinamis ketika berkawan dengannya. Hok Gie menularkan beberapa positif habbits, bukan hanya habbits-nya tapi juga “mengapa”-nya yang tentu membuat kebiasaan positif yg ditularkannya menjadi ajeg nemplok dipribadi2 temannya tanpa mengurangi karakter dasar kawan-kawannya itu.

Hok Gie sepertinya tau benar cara membuat “aku” dan “kamu” menjadi “kita” dan “kami” tanpa merasa kehilangan ke-aku-anku dan ke-kamu-anmu.

Sampai akhir hayatnya dia masih setia dengan jalan kaki, naik sepeda dan becak, soale ia memang tak bisa naik motor atau nyupir mobil. :D. Tapi hal ini justru membawa input positif lain dalam hidupnya. Ia menjadi pengamat sekaligus pemikir & aktivis yg merakyat.

Soal cinta, tentu seperti kebanyakan pemuda lain, Hok Gie juga merasakan jatuh cinta pada beberapa teman gadisnya bahkan siap berkomitmen pada seorang gadis. Namun keluarga gadis tersebut tak bisa menerima Hok Gie lebih dari seorang teman buat anaknya, terlalu beresiko untuk menjadi istri seorang Hok Gie, kira-kira begitu. Dalam hal ini, wajar jika Hok Gie terluka dan juga ia tuangkan dalam buku hariannya. Dan akhirnya ia menyadari satu hal (mungkin bahkan sudah lama ia tau) bahwa orang-orang seperti dia memang ditakdirkan (atau lebih baik) untuk “sendirian” dan ia siap untuk itu.

Ketika SMP-SMA ia mulai meragukan keberadaan agama dan Tuhan, namun hal ini menjadi mantap ketika ia menjadi mahasiswa. Ia tidak percaya agama dan Tuhan. Mungkin ia memang atheis, tapi bagi saya ia bukan atheis murni karena pada beberapa bagian dibuku hariannya, ia sering menyebut atau merindukan Tuhan, meskipun tidak juga mau mengakui keberadaanNya.

Awalnya saya kecewa dan merasa “sayang sekali” orang secerdas dia, mengapa bisa tak beragama atau setidaknya menjadi agnostik. Pikiran sekilas jebret saya waktu itu, apakah Hok Gie begitu karena ia tidak memisahkan antara agama dan pemeluk agama. Yang buat saya sangat berbeda. Sebuah agama buat saya tak bisa disamakan dengan pemeluknya. Jika pemeluknya –maap- bejat bukan berarti agama-nya juga seperti itu. Tapi otak saya berpikir ulang, Siapa saya ? kenapa saya merasa berhak untuk menghakimi Hok Gie dalam pilihan hidupnya soal agama dan keyakinan terhadap Tuhan? Oke, itulah pilihannya, dan biarkan ia bertanggungjawab dengan pilihannya itu.

Tapi disisi lain “kesadaran” Hok Gie tentang Tuhan dan agama juga turut menyadarkan saya, bahwa siapapun kita, beragama apapun kita atau bahkan tidak percaya pada agama manapun dimuka bumi, pasti membutuhkan Dzat yang super kuat, super kuasa, Dzat yang sebagai tempat kita berlindung atau setidaknya kita rindukan kehadiranNya. Sesuatu yang Danah Zohar & Ian Marshall sebut sebagai Kecerdasan Spritual (SQ/SI).

Hok Gie meninggal ketika usianya belum genap 27 tahun di Gunung Semeru pada sebuah ekspedisi semeru bersama kawan-kawannya. Ia mati muda dan digunung, persis seperti yang Ia inginkan. Dan pada saat akhir-akhir kehidupannya beberapa kali sering ia tuliskan di buku hariannya soal ini. Jika ada yang mengatakan Hok Gie meninggal karena patah hati, saya sungguh tak sependapat dengan itu.

Sebelum berangkat ke Semeru ia sempat bicara dengan abangnya (Hok Djien/Arif Budiman) tentang semua hal yang lakukan termasuk persoalan cintanya dengan seorang gadis. Saat itu ia menunjukkan sebuah surat dari temannya di Amerika. Isinya ia tunjukkan pada abangnya : “ Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu……Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka : sendirian, kesepian, penderitaan”. Dan dari wajahnya saat itu, Abangnya melihat seakan Hok Gie mau berkata : Ya, saya siap. Dan dalam suasana yang seperti itulah Hok Gie berangkat ke Semeru dan akhirnya meninggal keracunan belerang kawah mahameru ditemani sahabat dekatnya Herman Lantang didetik-detik terakhir Izrail menjemputnya.

Sekarang, sudah lebih dari 40 tahun sejak ia pergi, dan saya pun tersenyum ketika membaca kembali buku hariannya yang ia tulis pada hari Sabtu, tanggal 13 Agustus 1960. Hok Gie menulis pembelaan gurunya itu ketika teman-temannya mengejeknya sebagai ahli sejarah : “ Sekarang kau tertawakan dia, mungkin 20 tahun (lagi), kau akan pelajari bukunya “. Dan ternyata benar, beberapa tahun setelah ia meninggal skripsinya diterbitkan menjadi salah satu sumber sejarah tentang Sarikat Islam, artikel-artikelnya pun dianalisis dan digabung jadi sebuah buku bersama testimony teman-temannya dan buku hariannya pun bisa kita jadikan salah satu sumber sejarah angkatan 66 dan pergolakan politik sosial kala itu.

Begitulah saya mengenal pemuda sederhana yang bagi saya luar biasa : Soe Hok Gie. Saya memang hanya mengenalnya dari tulisan-tulisannya di buku hariannya, artikel, skripsi dan testimony keluarga dan teman-temannya. Tapi hal itu ternyata lebih dari cukup untuk membuka pikiran saya tentang banyak hal : arti hidup dan kehidupan, sosial, politik bahkan kesadaran beragama (memang kesannya jadi aneh belajar “berkesadaran agama” dengan seseorang yg bahkan tak percaya Tuhan, tapi itulah kenyataannya ) . Dan tentu saja yang saya tulis ini tidak menggambarkan sepenuhnya sosok seorang Hok Gie. Tapi yang jelas buat saya inilah Hok Gie yang saya tau, Hok Gie yang saya kenal :

“……Saya adalah seorang manusia dan bukan alat siapa pun. Kebenaran tidaklah datang dalam bentuk instruksi dari siapapun juga, tetapi harus dihayati secara “kreatif”. A Man is as He Thinks…… “ (Soe Hok Gie, Siapakah Saya? -dokumentasi Arif Budiman (Soe Hok Djien)- )

“Terimakasih Hok Gie, menyenangkan bisa mengenalmu meski tak sepenuh kenal ^^”

"Terimakasih buat mba Mira Lesmana yang sudah memperkenalkan saya dengan Hok Gie lewat GIE ^^"

Didepan nagamochi, 10 April 2010

Jam 10 kurang 18 menit waktu jam kamarku

Bahan Bacaan :

- Catatan Seorang Demonstran/Soe Hok Gie/ LP3ES/ 1983

- Soe Hok Gie…Sekali Lagi (Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya)/Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R (Ed.)/KPG bekerjasama dengan UI, ILUNI UI & Kompas/2009

Tidak ada komentar: