Pages

Rabu, November 14, 2012

Sekolah Ramli



Bismillah..


" When the well is dry, We know the worth of water " - Benjamin Franklin- 


Berbulan-bulan yg lalu (lama amat nul...),  pada waktu jam istirahat. Saya dan beberapa anak-anak (murid2) saya berkumpul  di depan tangga utama sekolah. Sebagian ada yang duduk di anak-anak tangga, namun ada pula beberapa yg berdiri ikutan nimbrung.
Pas ngumpul-ngumpul sambil cerita-cerita itu, iseng-iseng saya nanya ke anak-anak.
“Ayo nak, coba deh perhatiin disekitar sini, kira-kira ada ngga yg bisa dijadiin uang ? “
Anak-anak saya lalu memperhatikan sekeliling sekolah, beberapa ada yg cepat menjawab “ Kantin ustdzah, itu lumbung uang disekolah..”,  “Koperasi ustadzah, klo kita nitip barang buat dijual kan bisa jadi duit”. Lalu ada pula yang menjawab “Tempat sampah ustdzah.. itu juga bisa jadi sumber duit..!”

Saya sungguh mengapresiasi jawaban yg terakhir itu. Karena Tempat Sampah itulah yg saya maksud.
Sampah sekolah itu berpotensi untuk jadi sumber pemasukan bagi sekolah, bukan hanya pemasukan dalam finansial, tapi juga berpotensi mengembangkan fikir, kreatifitas, perilaku bahkan sisi spritualitas bagi komponen sekolah, terutama bagi siswa.

Saya lalu mengajak anak-anak saya itu untuk memperhatikan isi tong sampah disekitar tempat kami nongkrong. Disana ada sampah bungkus plastik abis tempat permen atau mihun, ada pula botol air mineral, ada pula gelas-gelas plastik, daun-daun kering, sisa makanan dan lain-lain. Dan tong sampah-tong sampah itu selalu penuh setiap hari, bahkan tak jarang juga kepenuhan membludak.
Itu isinya klo sekolah bisa mengelola, akan jadi  luar biasa, bukan hanya untuk siswa tapi juga untuk sekolah bahkan untuk beberapa pihak di luar sekolah.

Dalam obrolan singkat kami soal sampah itu, salah satu anak saya bercerita soal pengelolaan sampah dilingkungan rumahnya.
“Di komplek rumah saya ustadzah, ada Bank RamLi..”
Awalnya saya kira itu nama orang ternyata : “ Bank Ramli itu ustadzah, bank ramah lingkungan. Jadi sampah orang2 disekitar rumah saya itu dikumpulin di sana. Ntar bisa jadi pupuk ustdzah, ada juga yg dijual ke komandan pemulung.. “
Saya pikir, itu bank ramli cuman ada di jakarta atau kota2 di jawa aja (ngeremehin banget si unul ni ya...hadeeh..) , tapi ternyata di samarinda kota lahir saya tercinta juga ada yg seperti itu. Kereeen  d^^b

Lalu saya jadi mikir, kalo disitu ada Bank RamLi, kenapa di sekolah ini gak bisa ada Bank Ramli.
Bahkan mungkin lebih bisa memungkinkan  untuk ada. Pertama karena sampah-sampah itu emang dikumpulin disatu tempat, trus potensi kuantitas sampahnya banyak dan potensi kualitas sumber daya manusia-nya, secara kan institusi pendidikan tho.. :D

Mari kita lihat dari beberapa aspek jika Sekolah RamLi ini bisa diwujudkan..

Pertama dari aspek finansial.
Sungguh luar biasa, boleh dibayangkan (saya kasih waktu 2 menit untuk ngebayangin.. ehehehee :D). 
Untuk SMP aja disekolah tempat saya mengajar dan belajar itu, ada 8 Kelas yg masing-masing kelas itu punya minimal 1 tempat sampah yg gede, ada juga kelas yg punya 2. Belum termasuk tempat sampah yg ada di samping-samping tangga masuk, di kantin, koperasi , di depan Ruang Guru dan TU.  Apalagi klo digabungin sama puluhan tempat sampah yg ada di SD yg juga satu komplek sama SMP.
Wah, itu potensi sampah yg besar kan?
Setelah saya amati, sekitar 80 persen terdiri dari  sampah-sampah yg bisa didaur ulang, seperti gelas-gelas plastik sisa minuman, botol-botol air mineral, kertas-kertas gaje, bungkus plastik bekas permen, snack atau makanan siap saji, dll.
Hanya sekitar 20 % yang terdiri dari sisa-sisa makanan.
Coba Bayangin tu, klo dikiloin bisa dapat berapa kilo itu satu hari ? dan bisa jadi berapa duit bulanannya.. ?? (Rp..Rp..RP.. :D )

Nah, untuk itu Sekolah bisa kerja sama dengan pemulung setempat atau langsung ke tempat pengumpul atau bisa juga mengelola sendiri proses daur ulang dan pemasarannya. Masing-masing ada konsekuensi untung rugi-nya.

Kalo kerja sama dengan Pengumpul, Sekolah tak perlu ribet, karena yg akan mengangkut adalah Pengumpulnya itu langsung ditimbang dan “dihargai” di Sekolah. Cuman sisi edukasi-nya jadi dikit, soalnya terputus ketika sampah diangkut dari sekolah.

Kalo kerja sama dengan Pemulung setempat, bakal sulit kalo orientasi sekolahnya money oriented, soalnya  gak banyak Pemulung yg “tajir” bisa langsung bayarin itu barang-barang disekolah. Atau kalo mau bisa pake sistem bayar belakangan, jadi Sekolah dapat bayaran kalau  Pemulung udah dapat duit dari Pengumpul.
Nah, klo ini pemulung setempat juga jadi kecipratan untung dan gak susah-susah nyari nyusurin jalan dan banyak tempat. Jadi memudahkan pemulung, ini juga ngasih sisi edukasi buat siswa-siswa (terutama klo siswa dilibatkan dalam proses ini) bahwa penting untuk menyentuh sisi bawah aspek pelaku ekonomi  (aduh  maap, jadi ribet, abisan gak nemu kalimat yg tepat.., maksud saya sama seperti ngajarin siswa bahwa lebih baik belanja di warung-warung deket rumah daripada di supermarket apalagi hypermarket, soalnya jadi turut membantu mengembangkan sektor ekonomi menengah kebawah).

Atau kalo mau lebih ekstrim lagi, dibikin aja jadi “Sedekah Sampah”, maksudnya pemulung-pemulung tersebut dapat gratisan itu sampah-sampah. Jadi gak perlu bayar kesekolah. Wah ini makin bagus lagi. Target-nya klo para pemulung itu tahun ini masih “terdaptar” sebagai mustahiq zakat, maka ditargetkan tahun depan itu pemulung berubah “terdaptar” dalam barisan muzzaki.  

Nah, klo sekolah mau ambil opsi yang ketiga boleh juga, yaitu Sekolah mengelola sendiri sampah-sampahnya itu, itu artinya mulai dari proses pemisahan , daur ulang sampai pemasaran dikelola oleh pihak sekolah.
Dalam hal ini Sekolah bisa melibatkan beberapa komponen sekolah, misalnya siswa dalam Osis atau dibuat Ekskul khusus daur ulang, Guru sebagai pembina-nya dan  kemudian pihak Koperasi  Sekolah dalam pemasarannya.
Untuk yg satu ini memang keliatannya Ribet banget, tapi saya pikir akan sepadan untuk efek positif dimasa depan buat sekolah itu.

Atau bisa juga pake kombinasi ketiga opsi diatas. Hal ini diserahkan kepada kondisi dan pilihan masing-masing Sekolah, mau pake kombinasi atau salah satu dari opsi itu atau bahkan pake cara yg lebih baik dari opsi-opsi diatas.

Itu baru dari sisi finansial, belum lagi dari sisi pengembangan potensi, kreatifitas, perilaku positif bahkan sisi spritual yg sebagian telah saya jelaskan dikit diatas.

Dengan adanya Sekolah berbasis RamLi ini, mengajarkan anak-anak dan komponen sekolah lainnya untuk lebih disiplin tercermin dalam semakin rajin untuk buang sampah pada tempatnya, terlatih untuk membedakan sampah organik dan non organik, dll.

Selain itu potensi dan kreatifitas juga turut berkembang, terutama klo Sekolah memilih untuk mengelola sendiri sampah-sampah tersebut.Bahkan bisa menginspirasi siswa untuk jadi pengusaha muslim atau ilmuwan muda (mungkin ntar-ntar anak-anak jadi terinspirasi buat teknologi daur ulang efektif, atau alat-alat atau sistem yg berhubungan dengan itu..)

Sisi Spritualitas  juga turut terbangun, misalnya jadi terbiasa hidup bersih dan membersihkan, menumbuhkan empati, meminimalisir kemubaziran, dll.

Untuk mewujudkan tentu memerlukan persiapan dan keterlibatan seluruh komponen sekolah. Mulai dari guru, siswa, koperasi, dll. Namun jika terlaksana, akan ngasih input positif yang banyak buat sekolah. Trus Adakah sekolah yg telah melaksanakan ini ?
Ternyata Ada, dan tidak hanya 1 sekolah!.
Bahkan bulan ramadhan lalu, saya dapat cerita dari sahabat saya yg tinggal di Jogja, bahwa ada pesantren yg membiayai “kehidupan” pesantrennya lewat cara ini. Dan dampaknya bukan hanya dirasakan pesantren tersebut tapi juga masyarakat disekita pesantren. Lihat efek positif yg meluas hingga keluar sekolah.

Bahkan ni, saya jadi berpikir, klo sepertiga saja sekolah yg ada ditiap kota mewujudkan Sekolah RamLi ini, maka akan sangat mengurangi limbah sampah di TPA-TPA yg ada di kota tersebut. Dan karena dilakukan oleh sekolah tentu akan diharapkan akan membawa dampak kepada murid-muridnya dan para wali murid untuk menerapkan hal ini juga di lingkungan rumah-rumah mereka suatu hari nanti. Allahuakbar !
Jadinya bukan hanya memperkecil jumlah limbah dan menjaga kebersihan, tapi juga bisa mengembangkan sektor ekonomi serta menciptakan lapangan kerja baru (soalnya kan tetep butuh orang2 buat mengelola dan mengolah sampah-sampah daur ulang itu...)

Saya sangat berharap, Cordova bisa jadi salah satu (bahkan mungkin pionir) Sekolah berbasis Ramah Lingkungan yang tentu akan menginspirasi Sekolah-Sekolah lain untuk berbuat hal yg sama. Semoga bisa terwujud. Amin..



*obrolan singkat bareng anak-anakku yg mencerahkan...
Terimakasih nak, beruntungnya ustdzah mengenal dan belajar bersama kalian :D


ditemani nagamochi junior
7 oktober 2011, jam 3 lewat 5 pagi-pagi buta

Tidak ada komentar: