Pages

Sabtu, November 03, 2007

Indonesia Ditengah-tengah Ketegangan Iran dan Amerika Serikat

Ketika mengetahui Negara kita tercinta, Republik Indonesia memberikan keputusan untuk mendukung Resolusi DK PBB nomer 1747 kepada Iran hingga pada tanggal Tanggal 24 maret 2007 yang lalu Amerika Serikat bersama 15 anggota Dewan Keamanan PBB, termasuk Indonesia secara bulat memutuskan perluasan sanksi untuk Iran melalui Resolusi tersebut, terus terang saya amat kaget.

Resolusi tersebut berisi larangan kepada semua Negara untuk berdagang senjata jenis apapun dengan Iran, serta tidak menyediakan bahan-bahan baku yang bisa digunakan Iran untuk mengembangkan program nuklirnya. Sanksi juga mencakup pembekuan aset milik 28 orang dan lembaga yang terlibat dalam program nuklir dan dan misil Iran, termasuk Bank Sepah Internasional dan tiga perusahaan yang terkait dengan Garda Revolusi (Revolutionary Guard). Beberapa Pejabat Iran dan Garda Revolusi juga kena dampaknya , dicekal bepergian keluar negeri. Resolusi ini juga meminta kepada lembaga-lembaga donor internasional seperti Bank Dunia dan IMF untuk menghentikan bantuan keuangan atau pinjaman serta tidak menambah komitmen baru pemberian hibah, kecuali untuk urusan-urusan kemanusiaan.(Sindo/28 Maret 2007/Hal.7)

Kalau saja saya mempunyai hak interpelasi, maka saya pun akan mempertanyakan apa alasan dari pemerintah untuk menyetujui dikeluarkannya Resolusi DK PBB tersebut. Tapi untungnya, hal ini sudah terwakili melalui DPR RI (semoga DPR RI benar-benar melaksanakan hak tersebut).

Banyak hal yang perlu diperjelas dalam keputusan Indonesia untuk mendukung Resolusi PBB. Karena setahu saya,dalam sebuah mekanisme Voting tidak ada sikap : “ Iya….tapi….” ataupun “Tidak,..tapi…”. Yang ada adalah sikap ; “Ya” atau “Tidak” atau tidak bersikap sama sekali alias diam atau abstain. Karena itulah ketika terdengar keputusan tersebut, orang tidak lagi melihat esensi atau tawaran-tawaran Indonesia untuk mengamademen butir-butir dalam Resolusi tersebut tapi lebih kepada keputusan global-nya. Dalam hal ini hanya ada tiga keputusan global yang dilihat setelah semua proses tawar menawar, negosiasi tawaran atau musyawarah sudah dilakukan,yaitu yang pertama adalah mendukung Resolusi DK PBB nomer 1747, yang kedua adalah Tidak Mendukung Resolusi DK PBB nomer 1747 dan yang ketiga adalah abstain.

Ada beberapa hal yang mengganjal dan sedikit aneh (saya tidak menemukan bahasa yang lain), ketika Indonesia memutuskan bahwa kita mendukung Resolusi DK PBB nomer 1747 tersebut. Yang pertama adalah masalah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Dikatakan “bebas”, karena Indonesia dalam menentukan sikap dan menjalankan politik luar negeri-nya, bebas dari pengaruh Negara ataupun kekuasaan apapun, artinya Indonesia memiliki Indenpendensi sebagai Negara merdeka bebas menentukan sikap politiknya. Kemudian dikatakan “aktif”, karena Indonesia dalam menjalankan sikap politiknya harus aktif dalam mendukung perdamaian dunia.

Dalam bukunya Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Drs. Mohammad Hatta merumuskan bahwa tujuan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif harus memperhatikan beberapa hal, diantaranya meningkatkan perdamaian internasional dan meningkatkan persaudaraan segala bangsa. Karena hanya dengan dua hal diatas Indonesia dapat membangun dan memperoleh syarat-syarat yang diperlukan untuk mempebesar kemakmuran rakyat.*

Dalam konteks ketegangan antara Iran dan Amerika Serikat yang berlindung dibawah naungan PBB, seharusnya Indonesia bebas dari pengaruh Iran ataupun Amerika Serikat. Indonesia tidak memberikan sikap memihak kepadakedua Negara tersebut tapi memihak kepada kebenaran dan keadilan sehingga perdamaian dunia dapat diperoleh. Dan kita juga seharusnya menjalankan politik aktif dengan memamfaatkan posisi politik kita yang begitu strategis. Disisi lain, kita mempunyai hubungan yang dekat dan bersahabat dengan Iran, dan disisi yang lain kita juga mempunyai hubungan yang baik dengan Amerika Serikat. Dua posisi ini ditambah lagi dengan posisi-posisi politik strategis lainnya, diantaranya kita adalah satu dari Dewan Keamanan PBB, kita juga salah satu anggota OKI dan dilibatkan dalam pertemuan Liga Arab walupun hanya sebagai Negara peninjau.

Seharusnya kita mampu menjadi penengah dan benar-benar berada di tengah dalam masalah ini. Tapi dengan adanya keputusan mendukung Resolusi DK PBB nomer 1747, maka akan sangat menyulitkan posisi kita, karena posisi kita menjadi cenderung berat sebelah. Disatu sisi kita ingin secara aktif mendekati Iran dan memberikan berbagai pertimbangan, tapi disisi lain kita terikat dengan pelaksanaan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang sudah secara bulat kita sepakati. Dan keputusan ini juga membuat kita tidak konsisten dengan sikap-sikap kita sebelumnya, dan pantas jika Duta Besar Iran untuk Indonesia sangat kecewa dengan keputusan kita ini.

Yang kedua ialah masalah dampak-dampak yang diakibatkan oleh diberlakukannya Resolusi tersebut. Dengan adanya keputusan ini, tak salah jika ada presepsi dari personal ataupun Negara lain jika kita dianggap sebagai negara yang tidak konsisten dengan politik luar negerinya, dan kita dianggap tunduk dan patuh terhadap kekuasaan barat bahkan dianggap sebagai kaki tangan mereka. Hal ini juga akan menyebabkan kurang baiknya atau merenggangnya hubungan politik Indonesia dengan Iran jika tidak ada upaya-upaya dari pemerintah untuk menjelaskan sikap Indonesia dalam penetapan Resolusi DK PBB nomer 1747 tersebut. Karena Negara tegas macam Iran pasti punya sikap dan pertimbangannya sendiri dalam politik luar negerinya.

Terganggunya stabilitas keamanan nasional pun turut menjadi akibat dari penetapan Resolusi tersebut. Kekhawatiran yang timbul bahwa Resolusi ini akan menjadi justifikasi bagi Amerika serikat dan sekutunya untuk melegalkan semua tindakan militernya di Negara tersebut, seperti yang terjadi pada Irak yang kondisinya terus memburuk hingga hari ini.

Lihat saja, baru dua hari Resolusi ini ditetapkan, sudah ada 15 Kapal Perang dan 100 buah pesawat tempur milik Amerika serikat yang melakukan latihan militer di Teluk Persia, Iran. Dan tidak ketinggalan juga 1 buah kapal perang milik Perancis yang baru tiba di teluk Arab. Disinyalir bahwa latihan perang yang dilakukan Amerika Serikat ini, adalah yang terbesar dalam 4 tahun terakhir ini setelah Invansi USA ke Irak. Dan ternyata latihan perang ini sudah dilakukan beberapa bulan sebelum Resolusi DK PBB nomer 1747 ditetapkan dua hari lalu. Jangan sampai dikemudian hari kita melihat hal yang sama pada Irak terjadi juga pada Iran dikemudian hari. Naudzubillah mindzalik.

Yang ketiga adalah masalah ada tidaknya bukti-bukti bahwa pengayaan Uranium yang dilakukan Iran adalah untuk tujuan pembuatan senjata nuklir. Sampai ketika Resolusi ini ditetapkan tidak ada bukti yang jelas tentang hal tersebut diatas. Dewan atom dunia sebagai lembaga independent untuk masalah ini menyebutkan bahwa pengayaan uranium di Iran hanya sebanyak 3,5 % dan artinya pengayaan uranium dalam prosentasi sekian, masih belum memungkinkan digunakan untuk pembuatan senjata nuklir. Dan berulang kali pemerintah Iran yang diwakili oleh Presiden Iran menjelaskan , bahwa proyek pengayaan Uranium di Iran hanya digunakan untuk kepentingan perdamaian dan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk pembuatan senjata nuklir seperti yang dituduhkan selama ini. Kalau tidak ada bukti, atas dasar apa resolusi tersebut ditetapkan?. Dimana hak Iran sebagai Negara merdeka yang bebas mengembangkan teknologi apapapun untuk tujuan perdamaian dan pengembangan teknologi dan ilmu pengetahuan? Bukankah Iran juga mempunyai hak sama dengan Negara-negara lain dalam pengembangan nuklir seperti Perancis, Rusia, China, Korea Utara, Pakistan , India, Inggris, Israel dan Amerika Serikat. Bahkan beberapa Negara tersebut dengan terang-terangan mengaku telah mengembangkan dan membuat senjata nuklir seperti Israel dan Korea Utara misalnya. Lalu kenapa ada diskriminasi atas penetapan Resolusi DK PBB? Dimana keadilan PBB yang katanya sebagai “perwakilan” masyarakat dunia? Atau diskriminasi ini terjadi karena di Negara-negara lain yang “dizinkan” mengembangkan program nuklir tersebut tidak memiliki cadangan minyak yang besar seperti halnya yang terdapat di Iran?

Agaknya, mulai sekarang Indonesia harus kembali benar-benar melaksanakan politik luar negeri yang benar-benar bebas dan aktif. Sehingga Independensi dan harga diri Negara Republik Indonesia benar-benar terjaga. Mungkin kita harus benar-benar berkaca pada sejarah ketika pertama kali pemerintah mengumumkan pendirian politik luar negeri Indonesia di hadapan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 2 September 1948. Pemerintah Indonesia saat itu mengatakan bahwa “…..tetapi mestikah kita, bangsa Indonesia, yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan Negara kita hanya harus memilih antara pro Rusia atau pro-Amerika?Apakah tidak ada pendirian lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita?....” **

Maka seharusnya pemerintah harus memiliki pendirian yang kuat bahwa sikap-sikap politik luar negeri yang kita ambil seharusnya memposisikan kita sebagai subjek yang bebas dan berhak menentukan sikapnya sendiri, serta memihak pada kebenaran dan keadilan bukannya menjadi objek dalam pergulatan politik internasional, bahkan menjadi boneka dalam scenario kepentingan kapitalisme asing.

* & ** dikutip dari buku Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara untuk SMU kelas III yang disusun oleh Budiyanto dan diterbitkan oleh Penerbit Erlangga,2000.

Tidak ada komentar: